December 2005
Anastasia Ivanovic Mikhailov, satu-satunya pemegang kendali penuh atas kerajaan bisnis Ivanovic. Salah satu leader kelas mafia diseluruh bumi Moskow, legal maupun illegal seluruh bisnis Ivanovic selalu berjalan mulus ditangan anastasia. Pemasok obat-obatan dan persenjataan terbesar, dan juga pendiri beberapa kasino dinegaranya. Ana berjalan angkuh didepan beberapa karyawannya yang hanya bisa menundukan kepala melihat sang ivanovic, hanya ketukan heels dengan lantai marmer yang berbunyi saat ana berjalan. Tak ada suara beberapa pegawai yang sebelumnya pecah saat anastasia melewati mereka. Anastasia memasuki lift dan menekan tombol paling atas menuju kantornya, selama tiga tahun terakhir ana terus melanjutkan bisnis dan usaha keluarga ivanovic, dengan beberapa bantuan dari rekan-rekan tentunya..
"Apa maksudnya ini?" Ana melemparkan beberapa dokumen kearah pegawainya, ia memijit pelipisnya ketika melihat laporan keuangan yang menyatakan pembengkakan hutang ivanovic terhadap perngusaha lain. Dalam sejarah kepemimpinannya, ana tak pernah mengajukan satupun pinjaman. Malah anastasialah yang selalu berbaik hati memberikan bantuan terhadap perusahaan lain.
"Forgive me ma'am!"
"Keluar!!!" Bentak ana sebelum pegawai tersebut melanjutkan pernyataannya. Ia harus berusaha lebih giat lagi, bagaimanapun ana akan menemukan biang kerok dari permasalahan ini. Bukan ivanovic namanya, jika tak ia temukan. Ana setengah menyeringai..***
Dor!!!
"Kau menggunakan namaku untuk kepentinganmu, kini aku akan menggunakan namamu diatas sebuah nisan" hanya butuh satu peluru untuk melenyapkan seorang penghianat diruang lingkup Ivanovic. Tak apa berkorban jutaan dolar karena hutang yang disebabkan tikus kecil ini, asalkan dapat terbayar nyawa, batin ana. Tega atau kejam adalah jalan yang selalu ana pilih demi melanjutkan bisnisnya, tak perduli seberapa besar kejahatan yang telah ia buat dalam beberapa tahun terakhir, baginya bisnis dan keluarga adalah prioritas utama.
Nikolai pengawal setia anastasia menunggu dengan kuda besi hitamnya, jas dan kacamata serba hitam menjadi ciri khas para pengawal setia keluarga. Setelah eksekusi singkat tersebut nikolai melajukan audi hitamnya, dengan sang majikan duduk setia dibelakang sedang menyilangkan kaki sambil mengutak-atik smartphone miliknya. "Kita pulang nona?" Tanya nikolai sopan. Ana melirik tajam kearah nikolai melalui spion mobil, sementara nikolai hanya bisa menundukan kepala setelah dilirik seperti itu oleh nonanya.
Ana menggelengkan kepala, "belum, aku masih punya urusan dengan orang lain, nikolai" jawab ana santai dan melanjutkan kegiatannya dengan smartphone miliknya. "Baik nona" jawab nikolai dengan pelan dibalik kemudi. Mobil tersebut berhenti disebuah gedung kumuh dipinggiran kota, terlihat sepi dan tidak terurus. Nikolai membukakan pintu untuk nonanya. Anastasia melangkah keluar dengan angkuh, kacamata hitam bertengger dihidungnya. Lipstik merah menyala, rambut lurus nan hitam legam dan alis mata yang dibuat setajam mungkin membuat tampilannya makin menggoda namun mematikan.
Ia melihat kesekeliling, hanya daun-daun berguguran dan cuaca yang dingin makin membuat tempat tersebut makin suram. "Kau tunggu disini nikolai!" Titah sang majikan. "Tapi nona..."
"Jangan membantah!" Nikolai mengernyitkan keningnya, ana memang tidak menyukai perbantahan, namun ia tak mungkin membiarkan majikannya sendiri ditempat seperti ini. Yang nikolai ketahui adalah ini tempat perkumpulan perdagangan manusia dan penjualan organ-organ manusia. Walaupun nic tahu nona nya adalah salah satu mafia kelas atas dan teman-temannya adalah salah satu pemilik bisnis keji ini."Cih!" Nikolai berdecih, ia memang penjahat nomer 1 pilihan anastasia. Namun, penjualan organ? Ayolah! Itu membuatnya mual seketika. Membayangkan saja membuatnya ngeri dan merinding, pernah sesekali ia melihat manusia yang dikuliti hidup-hidup. Itu membuatnya mengingat seseorang kawan baik dalam hidupnya. "Dimana kau sekarang brother?" Senyuman miring nic membuat hatinya miris, putus kontak sudah menjadi kebiasaan para pengawal kelas mafia. Namun yang membuatnya berkecil hati adalah kawan tersebut sudah ia anggap seperti saudara sendiri.
***
Bau amis mengelilingi bagian dalam gedung tersebut, seperti telah terbiasa dengan suasana disana ana tetap berjalan tenang menuju kantor utama sang pemilik. CCTV terpasang disetiap sudut ruangan, orang-orang dengan pakaian serba putih berlalu lalang dihadapannya. Mungkin mereka adalah ahli bedah, banyak dari mereka yang menyapa hormat terhadap anastasia, yang hanya dibalas anggukan olehnya. Ana terhenti disamping sebuah pintu yang terbuat setengah dari kaca, ia menengok sekilas. Melihat dari luar orang-orang yang sedang menunggu nasibnya.
Kumpulan orang-orang ini adalah hasil dari penculikan yang selalu terjadi tiap minggunya, biasanya korban berasal dari kalangan kelas bawah yang tak memiliki rumah tetap seperti gelandangan dan yatim piatu. Jika wanita, mereka akan dijual ke club-club atau rumah bordir. Namun jika mereka tak mematuhi peraturan yang ada, tibalah mereka dineraka dunia. Dimana penderitaan dan kesengsaraan tiap harinya akan berlangsung. Ana tersenyum miris dan melanjutkan perjalanannya menuju kantor utama.
Ia mengetuk pintu, tak lama seorang pria berkisar 40 tahun membuka pintu. "Ahh... My young friend. Welcome!" Ia mempersilakan ana masuk. Ana membanting tubuhnya diatas sofa setelah berjalan jauh dari depan gedung. "Sepertinya kau harus medekor ulang gedungmu, albert." Keluh ana sambil membuka kacamatanya. "Haha.. Aku kira ivanovic tidak pernah lelah mengurus bisnisnya yang kian melebar" balas albert sambil menyuguhkan segelas anggur. "Aku juga wanita al."
"Baiklah, apa yang membuat seorang anastasia mau repot-repot mampir ketempat seperti ini?" Tanya albert sembari duduk dihadapan anastasia. "Aku membutuhkan bantuanmu." Jawab ana santai. "Well, apa itu?"
Ana membuka amplop kecil yang sedari tadi ada disaku nya, ia memperlihatkan beberapa foto kepada albert. "Jika kau menemukan orang ini, aku akan membayarmu berapapun kau menjualnya" kening albert berkerut, ana tidak pernah lelah mencari seseorang yang pernah menyulitkan hidupnya walau dalam tumpukan jerami sekalipun."Apakah orang ini ada hubungannya dengan orang yang tempo hari kau perlihatkan fotonya padaku?" Tanya albert. Ana mengangguk, "hmm.. Istrinya" jawab ana santai sambil menegak habis minumannya. "Aku kira istrinya telah meninggal" herannya. "Itulah informasi yang aku butuhkan darimu, aku pergi dulu!" Ana berdiri meninggalkan albert yang hanya mengangguk. Didepan gedung udara dingin menusuk inderanya lagi, nikolai selalu setia menunggu. Ana membuka kacamata dan menyipitkan matanya, seseorang dari kejauhan bersandar dibalik van miliknya. Nampak tak asing dengan wajah tersebut, ana berlari kencang walau ia tersakiti dengan heels sialan miliknya. Nic tampak bingung dan ikut mengejar anastasia.
Tiba-tiba seseorang tersebut masuk kedalam van dan melajukannya sebelum sempat ana mendatanginya. Van itu kian menjauh dan menghilang, sebulir bening menetes dipipinya. Beberapa tahun terakhir barulah ini ana kembali meneteskan air mata. "Ada apa nona?" Tanya nic yang baru sampai dihadapan ana. "Apa nona mengenal pria tadi?" Tanya nic bertubi-tubi yang tak ditanggapi oleh ana. "Itu dia nic!" Jerit ana. "Dia siapa nona? Tenangkanlah dirimu!" Nic menjadi bingung melihat ana seperti ini. "Dia!!!"
"Alex!!!"