2023.5

924 181 10
                                    

"Jadi rencanamu besok apa, Park Jimin?"

Hoseok tak tahan lagi.

Memang jam masih menunjukkan pukul 9 malam saat Jimin menelponnya meminta jemputan, tapi rasanya dirinya sudah menua ribuan tahun begitu mereka berdua masuk dalam mobil sedannya itu.

Tak seorangpun dari 2 orang itu berbicara.

Selama perjalanan yang sudah menyentuh angka 10 menit, satu-satunya suara yang muncul adalah suara radio malam. Dan menjadi seseorang yang tak pernah bisa diam, Hoseok akhirnya memutuskan kesunyian dalam mobilnya itu.

"Aku tak tahu," Hoseok memutar matanya sesaat sebelum menatap sebal temannya itu dari cermin belakang. 

"Bagaimana rencanamu," Jimin berdehem sesaat, "Bagaimana rencanamu besok, Seulgi?"

Syukurlah Jimin peka, tidak seperti Taehyung.

"Aku juga tak tahu. Kan ini proyekmu." Hoseok mem-face palmed dirinya sendiri.

Sebaliknya, kali ini Jimin mengirim tanda S.O.S pada sahabatnya itu, "Bagaimana kalau malam ini kalian tidur di apartemen Jimin dulu lalu besok kalian kutemani ke IKEA?"

Untung saja kau atasanku, Park Jimin.

"Kenapa ke IKEA?"

Sekali lagi aku harus menjawab, kucincang kau Park Jimin.

Jimin menelan ludahnya sesaat, "Kan kau arsiteknya. Kau pilih-pilih dulu disana sebelum kita berangkat ke Busan."

"Busan?"

"Galeriku akan dibangun disana."

"Oh."

Kemudian hening lagi.

Ya Tuhan, berikanlah Hoseok kekuatan menjalani malam canggung ini.

****

"Kita sampai. Seulgi, bisa kau ke atas dulu? Kamarku no.32 di lantai 11. Passwordnya 0598."

Seharusnya hanya 20 menit dan berkat tensi yang tercipta dalam mobil, Jimin dan Seulgi membuatnya seolah 2 jam perjalanan.

Hoseok mendesah lega bukan main sesaat mobilnya memasuki kawasan apartemen mewah itu, yet dia ber-face palmed ria lagi.

Kenapa pula Jimin menyuruh Seulgi naik sendirian, pakai acara memberi tahu passwordnya pula.

"Kau memberikan password apartemenmu ke sembarang orang?"

"Tidak," Mata Jimin berkedip tanpa henti, "Aku ingin bicara dengan Hoseok."

"Apa itu rahasia? Aku tak boleh mendengarnnya ya?"

Mampus kau, Park Jimin.

"Tidak, buk--Kang Seulgi!!"

Dan begitulah Kang Seulgi lenyap.

"Kau yakin bisa bertahan dengannya selama beberapa bulan nanti? Aku bahkan sudah merinding betapa canggungnya kalian besok."

Jimin mendengus, "Aku saja bergidik membayangkan bagaimana nanti."

*****

"Lama sekali, apa rahasia kalian begitu besar?"

Damn.

Jimin lupa mulai malam ini, dia akan tinggal dengan Seulgi.

"Maaf." Seulgi memandangi pria itu, sebal bukan main. "Aku lupa kau ada disini."

Semakin sebal menatap wajah itu, sekantung plastik besar dalam genggaman Jimin menarik perhatiannya. "Apa itu?"

"Makan malam? Dan kurasa Busan agak sulit menemukan supermarket besar jadi.." Duh, kenapa aku berpikiran membeli ini sih? "Aku beli pembalut. Untukmu."

What.

What.

What.

What.

What.

"WHAT??"

Matilah kau.

Memangnya kau siapanya Seulgi sampai membelikan pembalut??

"Bukan... Maksudku, moodmu berubah-ubah dalam waktu singkat.."

And Seulgi didn't seem understand that, Park Jimin. 

"Kupikir kau sedang.. begitulah. Aku berani menyimpulkan itu sebab kau seperti itu kalau sedang haid, waktu kita SMA." 

"Oh."

Jimin benar-benar merasa bersalah, dan detik ini rasa takut juga melingkupi dirinya.

Sebesar marahnya Seulgi dimasa lalu, dia tak pernah sampai membuat seluruh pipinya merah. Seperti terbakar. Bahkan sampai telinga dan lehernya.

"Apa kau marah karena ini?"

Gadis itu tak tahu harus bereaksi apa.

Jelas ini kali pertamanya seseorang membelikannya pembalut, seorang lelaki.

Dan memang benar, siang ini Seulgi baru mengalami haid pertamanya bulan ini.

Tapi yang benar-benar membuatnya gugup adalah,

 bagaimana Jimin masih mengingat bagaimana perilakunya saat haid, meski 10 tahun sudah berlalu.

"Kau benar. Terima kasih."

Rasa bersalah Jimin semakin membengkak saat Seulgi hanya berterima kasih tanpa menatap wajahnya. Akibatnya, perlu 5 menit baginya untuk memulai percakapan di apartemennya yang hening itu.

"Jadi.. Aku hanya punya satu kamar disini, seperti yang kau lihat."

Dan seperti itulah, tensi antar keduanya berakhir. Beralih menjadi sebuah malam canggung seperti sediakala, seperti saat Hoseok menjemput mereka dari convenience store tadi.

"Kau tidur di dalam." Dan Seulgi masih tak menatapnya, "Kau tidak apa-apa 'kan? Kau bisa panggil aku kalau butuh apa-apa."

Jika saja beberapa tahun lalu butuh keajaiban besar untuk bertemu kembali dengan pria ini, pengalaman malam ini merupakan anugerah terindah tahun ini bagi Seulgi.

"Baiklah. Selamat tidur." Lagi, Seulgi tanpa menatap Jimin, segera melangkah ke kamar.

"Oh. Seulgi, kamarku disana." Pria itu menunjuk kearah utara, "Kau sekarang mengarah keluar."

"O--oke." 

Lagi, tanpa menatap pria itu, Seulgi berputar arah dan melangkah cepat meninggalkannya.

Bedanya, kini Jimin tahu bagaimana respon tubuh Seulgi saat gadis itu malu.

Dan menurut Jimin, itu merupakan respon terimut baginya.

The Architect and ITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang