Bab 3

403 14 3
                                    

"berbahagialah mereka yang tidak melihat namun percaya"

Nicholas POV

Pendar cahaya keemasan mulai menghiasi semesta. Membiaskan cahaya oranye yang menelusup dalam danau plitvice. Menandakan bahwa sebentar lagi hari akan berakhir. Aku menatap matahari senja dengan penuh harapan. Seakan aku menyalurkan segenap pemikiran-pemikiran yang tengah beradu dalam otakku. Matahari tidak menanggapinya. Dia tidak membalas sinyal koneksi kesedihan yang sedang aku salurkan.

Burung-burung Magpie juga mulai kembali ke arah utara membentuk gerombolan dan kelompok. Aku merasa iri dengan mereka. Memiliki banyak teman dan memperdulikan satu sama lain. Sedangkan aku? Tidak memiliki harapan dan tujuan. Hatiku sudah pergi bahkan jiwaku tercekat dalam kesuraman.

Mataku terhenti pada satu titik manusia yang tengah duduk di tepi danau. Rambut bergelombang yang terurai berwarna coklat. Dia memiliki raut wajah yang lembut dan menyenangkan. Setiap melihat matanya kau akan merasa teduh dan aman. Manik mata mahoninya itu mampu menghipnotis siapa saja yang melihatnya. Lesung pipi tampak ketika dia tersenyum. Menambah kesan yang manis pada dirinya.

CAMLO...

Ya aku mengingat gadis itu. Aku pernah bertemu dengannya di kampus. Dan saat pertama kali aku melihat dirinya entah mengapa gejolak aneh dalam diriku menguar begitu saja. Jantungku seperti berpacu lebih cepat. Tubuhku kaku seketika dan sepertinya aku harus memeriksakan jantungku sekarang karena sekarang rasanya masih sama. Saat suaranya yang lembut itu menyapaku. Aku merasa tidak sanggup mendiamkannya. Meskipun aku menjadi sosok yang begitu dingin tapi entah mengapa saat bertatapan dengannya aku merasa ingin mengenalnya lebih dekat.

Saat mata kami bertemu aku merasa terhipnotis dengan auranya jantungku seperti seseorang yang sedang lari maraton. Tubuhku kaku seketika. Aku ingin sekali membuang mukaku akan tetapi aku tidak sanggup menyia-nyiakan tatapannya. Dia tersenyum kearahku. Sangat manis. Aku meleleh seketika. Ya ampun kenapa aku ini.

Dia berdiri dan berjalan kearahku sambil tersenyum. Aku bingung harus membalasnya seperti apa tetapi sebagian dari dirku menyuruhku untuk membalas senyumannnya. Tapi disisi lain aku merasa gengsi dan malu. Akhirnya aku memutuskan memasang tampang datarku. Seperti biasanya. Dia duduk disebelahku.

"ehhh, hai nicole" sapanya sangat ramah.

"iya" jawabku seadanya.

"kau juga suka ke danau ini?" dia bertanya padaku.

"terkadang" lagi-lagi aku mebalasnya pendek. Karena aku tidak tau harus membalas seperti apa padanya. Dia tersenyum. Dan lesung pipi itu tidak pernah absen dari wajahnya. Dia menatap matahari yang sebentar lagi akan terbenam. Tanpa sepatah kata pun keluar dari bibirnya.

Dia memejamkan matanya merasakan semilir angin yang menerpa rambutnya. Dadanya tampak mengembang mengambil udara dalam-dalam dan menghembuskannya beberapa kali. "Danau ini sangat indah bukan nicole, aku sungguh bersyukur karena Tuhan sudah menciptakan keindahan yang sungguh tidak ada batasnya ini" dia berargumen. Sedangkan aku tidak membalas perkataannya.

"mungkin jika kita melihat dengan kesungguhan hati, kita akan menemukan jawaban dari setiap pemikiran kita. Apabila banyak sekali pertanyaan yang ingin kau tayakan. Tanyakan saja menggunakan hati kecilmu, perasaan dan feelingmu, karena sesungguhnya mereka mampu memahami apa yang sedang kamu pikirkan dan mereka semua mempunyai jawaban dari setiap pertanyaan-pertanyaan yang terlontar dari pikiranmu" feeling? Hati nurani? Aku tidak mengerti perkataannya.

"apa maksud dari kata-katamu" jawabku simple.

Dia tersenyum sekilas dan mulai berbicara dengan lembut.

"maksudku jangan pernah gelisah dan khawatir. Jangan bimbang dan jangan pernah melawan nuranimu. Karena sesungguhnya itulah kebenaran" jawabnya padaku.

Atheis In Love (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang