7. Menyayangi

27.1K 3.7K 68
                                    


"Kok sore banget pulangnya?"

Dennis berada di ruang tamu saat aku pulang.

"Disuguhin minuman kek, disapa pake ucapan manis kek, paling nggak disenyumin, gitu?" omelku pura-pura judes.

Ia mendengus namun menarik tanganku agar duduk di sebelahnya. "Susah banget sih dihubungi? Gitu nongol mau maghrib gini."

Aku tertawa dan memeluk lengannya. "Mbak Farah mana?"

"Di rumah sakit, katanya ada pasiennya yang emergency."

"Dinda mana? Kalau Mas Bagas masih ketemu klien tadi katanya."

"Papa nelepon kamu?" Yang kujawab dengan anggukan. "Dinda di atas lah, biasa ABG lagi kasmaran, online mulu dari pulang sekolah," Dennis mengomeli kelakuan adiknya.

Dan aku terkekeh sambil meraih remote televisi untuk menukar siaran. "Kamu aja sih yang nggak ngelewatin fase kayak gitu ya, kan? Makanya sirik lihat orang teleponan."

"Mana ada yang kayak gitu," elaknya ketus. Sementara tangannya bermain di rambutku.

"Ada ya ...."

Cubitannya mendarat di pipiku, namun aku tak keberatan, apalagi menolak.

"Pengen liburan, lho," Dennis berkata kemudian. "Jemur badan di pantai gitu."

"Perasaan bule, ih ... Ke gunung aja deh. Pengen mendaki."

"Ninja Hattori dong, lewati lembah, sungai mengalir indah ke samudera, bersama teman berpetualang."

Aku menoyor kepalanya dengan kekehan keras. Lalu mencubit perutnya sampai ia mengaduh kesakitan. "Bangsat banget sih pake nyambung-nyambung segala." Aku masih tertawa. "Tapi beneran deh, pengen ke Puncak," kataku sambil mengelus bekas cubitan di perutnya.

"Ya udah, ayo deh, weekend aja," ia bersemangat.

Namun aku menggeleng mematahkan semangatnya itu. "Nanti tunggu kamu sehat aja. Sekarang kita liburan di rumah aja ya."

"Yaelah, udah diangkat terus diempas," ia mencibir, tangannya yang satu lagi merebut remote di tanganku. "Nggak asik."

Aku tertawa dan membenamkan wajah di lengannya. Mengecupi bagian itu beberapa kali, aku kemudian beranjak ingin ke dapur.

"Mau ke mana?"

Dennis menahan tanganku.

"Minum lho, Den-Den ... Haus ini, macet-macetan di jalan."

Tapi ia tak melepas tanganku. Matanya hanya menatap, seakan menyelidik mengenai hal yang mampu kusembunyikan darinya. Padahal ia tahu sendiri tak akan ada yang bisa kusembunyikan.

Ada yang ingin ia tanyakan, aku bisa merasakan itu.

"Kamu ...," kalimatnya menggantung, ia terlihat sungkan, "baik-baik aja, kan?"

Aku tahu Dennis menahan pertanyaannya. Tidak menahan, hanya menunda. "Iyaa, Dennis ... Aku baik-baik aja kok." Senyumku terpaksa kupasang sebaik mungkin. "Aku ambil minum dulu ya?"

Ada beberapa hal yang tak berubah di era milenium ini. Salah satunya mungkin patah hati karena mencinta.

Entah kenapa di zaman modern sekalipun, sakit karena cinta mampu melemahkan segalanya.

Aku mungkin tak terluka secara fisik, namun batinku tengah berdarah-darah karena goresannya.

"Tan?"

Different Taste (COMPLETE) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang