Semuanya adalah proses, ketika bahagia merupakan hasil yang ingin kau capai. Dan dalam setiap prosesnya, sakit dan air mata tentu saja berada di sana. Cinta itu rumit, tak sesederhana ketika kita hendak memulainya. Maka terkadang, jiwa para pecinta, merupakan jiwa-jiwa tangguh yang siap pasang badan, saat hati yang kau jaga patah karena nelangsa.
Dan Dennis merupakan salah satu dari sekian banyak jiwa tangguh yang mengukuhkan cinta sebagai dewa yang ingin dikenalnya. Bukan untuk memuja, karena Dennis telah terlebih dahulu memuja Tuhan dan segala kuasa-Nya. Hanya saja, dewa dalam cinta yang ia junjung adalah perwujudan rasa penasaran dari sebuah rasa yang tak bisa ia jelaskan dengan kata-kata.
Seperti cintanya kepada Lintang yang sudah benar salah, namun ia tak ingin disalahkan. Cinta tak pernah salah, hanya keadaan dan status mereka saja yang membuatnya tampak tak benar.
Jadi dengan mempertahankan apa yang ia yakini, Dennis duduk di sudut café, menunggu dengan segelas lemon tea dan beignet yang belum disentuhnya sama sekali. Ia sedang dalam kondisi yang baik untuk sekadar mengambil camilan sore. Tapi duduk di café tanpa suguhan, juga bukan ide yang baik.
"Maaf saya agak terlambat."
Sapaan di hadapannya membuat Dennis terkesiap. Ia sedang tak terfokus tadi, hingga rela mengerjap beberapa kali sampai meyakini pandangannya. Barulah setelah mata dan otaknya saling berkesinambungan, Dennis berdehem singkat demi menormalkan mimik wajahnya. "Belum terlalu lama," balasnya dingin tanpa berniat menatap wajah tamunya.
Ya, Dennis menghubungi Adam siang tadi.
Sekalipun Lintang tak akan pernah mengejar lelaki di hadapan Dennis ini, tetapi Dennis yakin, lelaki ini tak akan pernah berhenti mengejar Lintang. Setidaknya sampai Adam ini menemukan alasan logis, mengapa dia harus berhenti mengharapkan Lintang. Jadi Dennis berada di sini demi tercipta sebuah alasan, kenapa Adam harus berhenti menemui Lintang.
"Pesan aja dulu," Dennis masih menggunakan nada acuhnya.
Dan Adam hanya mengedikan bahu saja. Tak mau berpikir terlalu dalam, juga tak mau berpikiran dangkal mengenai Dennis. Fakta bahwa Dennis menghubunginya siang tadi saja sudah cukup membuat Adam tercengang.
Setelah memanggil pelayan dan memesan minumannya, Adam menggulung lengan kemeja yang ia kenakan hingga sebatas siku. "Jadi apa yang ingin kamu bicarakan?" Adam terus terang. Ia tak bisa terlalu lama menahan rasa penasarannya.
Dennis menghela napas, kemudian melipat kedua lengannya di atas meja. "Santai aja dulu, saya nggak ada kelas kok."
Adam mengernyit. Bukan karena jawaban Dennis, melainkan tutur kesopanan yang baru saja ia dengar. Pasalnya, di pertemuan terakhir mereka, Adam ingat betul, Dennis memakinya dengan seluruh kemarahan yang tampak tak bisa teredam.
Dan sekarang?
Oke, Adam mulai mengerti peranan Tuhan yang kerap kali membolak-balikan hati manusia. Mungkin saja sekarang giliran Dennis.
"Saya juga lagi santai kok, baru saja saya bertemu klien di kantor." Adam membnarkan letak kacamatanya. "Cuma saya nggak bisa berhenti bertanya kenapa tiba-tiba kamu nelpon saya."
Dengusan samar Dennis terdengar dan ia tak repot-repot meminta maaf untuk hal itu. "Ya, sudah kalau begitu." Ia memainkan sedotan. "Saya juga nggak terlalu pinter basa-basi." Ucap Dennis dengan nada lebih ketus.
"Oke, kalau begitu bisa langsung saja?" Adam yang juga tak sabar pun langsung menyambar ucapan Dennis.
Dennis mendecih, ia pun berubah serius. Lebih tepatnya, sengit. "Masih naksir Lintang?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Different Taste (COMPLETE)
ChickLitLintang pikir, itu adalah cinta. Namun kehadiran Adam membuatnya sadar bahwa tidak semua rasa yang kita anggap sempurna adalah romansa. Tetapi Dennis menolak mundur dari perasaannya. Ia perjuangan rasa yang berdentam di dada sekalipun tabu mengirin...