41. Keluarga Adam

25.5K 3.6K 222
                                    

Cerita ini tuh emang panjang seindonesia rayaSebenernya aku juga lelah repost ginipengenku tuh langsung jadiin satu file berbentuk ebook gitu jadi biar enak bacanya. Hahahahahaa... Tapi ya gitu aku juga gak sempet hehehe.  Yaudah gini aja dulu ya

***

Lintang tidak tahu sejak kapan ia mulai tertidur. Yang jelas, kejenuhan mengarungi kemacetan tetap menjadi hal utama yang patut dipersalahkan. Juga, keheningan tak enak yang ia rasakan semenjak naik kembali ke mobil Adam seusai meninggalkan rumah sakit, bisa jadi merupakan penyebab lain dari kelelahan emosional yang Lintang derita. Lalu memilih tidur sebagai jalan yang paling tepat untuk melarikan diri.

Saat Lintang mengerjap, ia sudah mendapati langit yang tadi berwarna kuning keemasan telah berubah menjadi gelap. Sementara lampu-lampu jalanan menemani perjalan mereka yang ternyata masih separuh.

"Makan malam dulu ya?"

Suara Adam adalah hal pertama yang ia dengar, selain deru klakson dan bunyi mesin mobil. Lintang mencoba membenahi duduknya, lalu menegakkan punggung demi menyadarkan diri sendiri. "Macet banget ya, Mas?" keluhnya saat melihat lampu merah sudah menyalah lagi.

Adam tersenyum walau Lintang tak melihatnya. "Ditambah hujan lagi tadi, makin numpuk gini jadinya."

Lintang segera menoleh kepada Adam, setengah mengernyit karena seingatnya tadi ia belum melihat hujan sama sekali. Lalu Adam seperti menyadari sirat pertanyaan dari mata Lintang. Pria itu terkekeh dan memperlihatkan lesung pipi samar di pipi kirinya.

"Hujannya bentaran doang, tapi lumayan gede. Liat deh, aspalnya basah."

Lintang refleks memperhatikan keluar jendela mobil dan ia menemukan aspal hitam yang menjadi alasnya untuk berjalan, telah basah oleh air.

"Kamu capek banget kayaknya, jadi nggak terasa hujannya. Ngantuk banget ya, Lin?"

Masih memperhatikan jalanan, Lintang menjawab pertanyaan itu dengan anggukkan singkat. "Susah tidur kalau malam. Ngerasanya gerah aja, padahal udah pakai AC." Tutur Lintang jujur. "Kata Mbak Farah itu bisa jadi karena bawaan. Juga kaki suka pegel kalau tengah malam. Akhirnya ngurut sendiri sambil liatin jam." Jelas Lintang tanpa mengalihkan pandangan dari jendela.

Nada lelah dari suara itu membuat Adam semakin merasa bersalah. Ternyata sangat berat penderitaan Lintang dalam mengandung anaknya. Selain terus didera rasa mual, Lintang juga tak bisa mengkonsumsi banyak makanan, ditambah dengan istirahat malam yang kerap terganggu karena keadaannya. Pantas saja Lintang ingin cepat-cepat melahirkan bayi itu. "Maafkan saya, Lin."

Lintang tak menjawabnya. Ia diam saja padahal telinganya mendengar desahan bersalah dari pria tersebut.

"Kamu banyak menderita karena, Mas. Karena perbuatan brengsek Mas ke kamu." Adam melirik Lintang.

"Mungkin karena awalnya aku nggak mau nerima dia, makanya sekarang dia rewel banget minta diperhatiin." Lintang memberikan senyum miris untuk takdir yang tengah ia jalani. "Rasanya pengen hilang ingatan, paling nggak pas dihari itu. Biar aja kalau akhirnya memang harus hamil, tapi paling nggak, aku nggak harus ingat hari itu. Terus harus ngebenci bayiku sendiri. Kamu memang jahat, Mas. Terus aku yang kejam." Sudut bibir Lintang terangkat karena ironi.

Different Taste (COMPLETE) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang