4. Inikah Cinta?

39.6K 4.4K 136
                                    

Sengaja Share banyak... hehhee... mumpung jaringan bagus. 

*** 

Dalam cinta, patah hati dan terluka adalah hal biasa.Namun dalam hidup, cinta dan memiliki adalah hal berbeda.

Sama ketika aku akhirnya mendapati kabar bahwa Dennis telah membuka mata. Ingin menjadi orang pertama yang dilihatnya, aku egois dengan mengabaikan kelas dan langsung melesat ingin menemuinya. Dan kemudian aku sadar, mencintai dan memilikinya adalah hal yang tak mungkin kudapatkan dalam kehidupan ini.

Mungkin saja, nanti di nirwana, kami 'kan berjumpa dengan status baru tanpa hubungan darah.

Ya, aku hanya mencoba menghibur hati sendiri.

Melangkah perlahan ke dalam kamar inapnya, aku tersenyum saat mendapati Mbak Farah tengah memeluknya erat. Menumpahkan air mata penuh kesyukuran untuknya, aku terhenyak karena seharusnya perasaanku pun murni demikian. Hanya sebatas sayang yang tak berujung pada keponakan sendiri.

Bukan malah menyalahi takdir dengan mencintai dia yang seharusnya tak kucinta.

Ironi ....

Ya ... inilah ironinya.

"Lin, sini ...!!"

Mbak Farah telah melepaskan pelukannya pada Dennis, memanggilku supaya aku mendekat. Pikirnya mungkin aku juga ingin memeluk Dennis. Memang begitu sebenarnya inginku, namun hasratku berbeda dengan yang seharusnya.

Aku ingin memilikinya.

Ya, Tuhan ... Tolong sadarkan aku ....

"Lama banget sih jalannya, Lin? Dramatis deh kayak sinetron."

Cibiran lemah darinya membuat senyumku terkembang. Dan hal itu sontak saja mengusir ketidaknyamanan yang bercokol di jiwa. Aku memang tak tahu diri, tapi hatiku tak bisa dimengerti.

Berjalan cepat menuju ranjang rumah sakit tempatnya berbaring, Dennis bersiap menyambutku dengan tangan terentang lebar. Tanpa membuang-buang waktu aku masuk dan berada dalam pelukannya.

"Seneng bisa liat kamu lagi," bisiknya dengan nada suara lebih hidup. "Lama banget ke sininya? Aku kangen."

Terkekeh, aku mengelus punggungnya dengan perlahan. "Kerja dong, udah tamat kuliah, orang-orang dituntut kerja, biar nggak ada paradigma, itu anak udah lulus kuliah, tapi jadi pengangguran."

"Pinter banget sih kalau ngeles."

Lalu kami melepas pelukan.

Aku memandang wajahnya selama beberapa detik. Memastikan sepucat apa sekarang wajah itu. Dan sesuai yang telah kutanam di benakku, tak ada sedikit pun rona di sana. Tapi itu tak mengapa, yang penting Dennis sudah sadar.

"Kamu kemari sama siapa, Lin?"

Pertanyaan Mbak Farah membuatku melepas fokus. "Oh iya, sampai lupa, Mbak." Buru-buru aku menjauh dari Dennis. Sempat kulihat kernyitan protesnya terhadap sikapku, namun aku tak bisa menjelaskan sekarang. Ada seseorang yang kutinggal begitu saja di lorong rumah sakit.

Adam.

Shit!

Aku lupa keberadaannya. Padahal tadi dia yang menjemputku, ketika aku kebingungan menuju rumah sakit.

Demi Tuhan, Lintaang ....

Aku merutuk diriku sekali lagi.

Ya, Tuhan ....

"Mau ke mana sih, Dek?"

Suara Mas Bisma terdengar. Sepertinya aku juga lupa jika Mas Bisma berada di Jakarta sekarang.

Different Taste (COMPLETE) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang