24. Lintang

27.8K 3K 56
                                    

Lamaaa amaatt yaaa nggak di repost ini, hahhaaa... yuk deh, happy reading. 

*** 

Jika memang sudah tak cinta, katakan saja. Jangan karena tak ingin menyakitinya kita justru malah tega menjadi pendusta. Hidup ini sudah susah. Jadi apa salahnya jika kita bergerak saling membuat bahagia.

Dengan langkah tertatih, akhirnya Lintang bisa sampai di dalam kamar kosnya. Menekan semua inginnya untuk berlari menghamburkan diri ke dalam pelukan kakaknya, Lintang mencoba menerima takdirnya saja. Toh, semua sudah suratan. Biarlah ini hanya akan menjadi rahasia semata. Lintang sudah cukup lelah untuk mengurut semua yang terlihat salah.

Merebahkan dirinya di atas tempat tidur, Lintang membiarkan seluruh ruangan berlapis gelap. Ia sedang tak membutuhkan cahaya. Penerangan hanya membuat matanya semakin sakit. Jadi lebih baik jika ia memasrahkan tubuhnya ditelan gelap saja. Tak lagi perlu menutup mata, dengan mata terbuka begini pun, ia sudah mampu melihat segelap apa hidupnya setelah ini.

Lintang menghela napas, meraih guling, ia butuh sesuatu untuk dipeluk sekarang. Sesuatu yang dapat ia gunakan untuk mencurah semua sesak yang menggedor dadanya. Menyakitan memang. Tapi ia bisa apa? Waktu tak akan kembali sekalipun ia mengancam Tuhan dengan mencoba memotong nadi. Semua telah terjadi, dan kejadian ini, semua tentu atas restu Tuhan sendiri.

Menggigil antara putus asa dan ingin melupakan semua yang terjadi, Lintang memutuskan menyudahi ratapannya. Toh, semua telah terlambat. Adam yang ia harap akan menjadi satu-satunya tempat yang dengan sabar mendengar seluruh ceritanya, ternyata tak lebih dari serigala yang kemudian mencabik-cabik tubuh dan perasaannya. Adam tak hanya membuatnya kecewa. Tetapi pria itu, memberinya taburan garam di atas lukanya yang masih berdarah dan menganga.

"Sudah cukup, Lintang." Ia menasehati dirinya sendiri. Menghapus lelehan bening di sudut matanya, Lintang mencoba menjadi tegar. "Sudah cukup." Entah apa yang menurutnya cukup. "Lupakan semuanya, Lintang. Lupakan semuanya." Ya, anggap saja tak pernah terjadi. "Kamu akan baik-baik saja Lintang. Kamu akan baik-baik saja." Benar, ia akan baik-baik saja. Sebagaimana rumput liar, walau sering terinjak ia akan tetap bangkit lagi.

Dan Lintang percaya, tak akan ada yang berakhir sia-sia. Mungkin saja, ini merupakan pertanda, bahwa Adam bukanlah jodoh yang sebenarnya.

Ya, mungkin.

Tuhan pasti tidak akan meninggalkannya.

Namun suara ketukan dipintu kamar kosnya membuat Lintang, serta merta menegang. Tubuhnya yang sudah luruh memeluk selimut, langsung mengkerut ketakutan. Nyatanya, ia tak setegar yang ia harapkan. Buktinya, ia darahnya berlari tunggang langgang meninggalannya. Bayangan Adam yang menggedor pintunya terasa nyata, dan napasnya menderu hanya dengan membayangkannya saja.

Ia akan mati jika memang Adam berhasil menemukan keberadaannya.

Tok ... tok ... tok ...

Lintang menggeleng. Rasa takut yang membuncah mengguncang tubuhnya.

Tidak! Tidak! Jangan lagi!

"Lin ... woy ... lo ada nggak sih?!"

Sesaat Lintang terpaku. Diam dan berhenti menggigit bibirnya yang bergetar ngeri.

Suara itu bukan milik Adam.

Itu ...

"Lintang ... sumpah ya? Lo di mana sih? Gue teleponi nomor lo nggak aktif. Gue bawa Pizza nih."

Reya?

Lintang mengerjap memastikan.

"Lin ... woy ... Lin! Gue bawa makanan ini. Lo tidur ya?"

Different Taste (COMPLETE) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang