Wkwkwkk... Judulnua ngeselin ya kan? Hahaga memanggg...
***
Adam pulang ke rumahnya sore itu. Selepas mengantar Lintang kembali ke rumah Bagas, Adam mendapat telepon dari sang ibu, untuk mampir sebentar ke sana. Saat Adam tiba, ada mobil lain yang sudah berada di sana. Lengkap dengan mobil kedua kakaknya.
Kening Adam berkerut saat ruang tamunya sudah ramai dengan suara-suara wanita yang sibuk bersenda gurau. Ia hendak memutar tumit dan memilih pintu samping untuk masuk, namun terlambat ketika ibunya langsung menyadari kehadirannya.
"Dam, sini!" seru wanita itu semringah.
Kemudian, satu persatu kepala di sana menoleh ke arahnya. Dan Adam mendapati wajah Hawa menjadi salah satu di sana. Ah, sepertinya yang berkunjung adalah Hawa dan juga ibunya. Adam mengangguk dalam hati, mengabaikan firasat buruk yang menyusup tiba-tiba.
"Adam," wanita itu menggelung rambutnya ke atas. Tipe-tipe sosialita yang sangat memerhatikan penampilan walau kini usianya telah senja.
Dan Adam, bukanlah pria cerewet yang suka mengomentari pilihan gaya hidup orang lain. Adam jelas, merupakan pribadi yang menghargai keputusan siapa saja. Namun hanya sebatas itu, Adam tak pernah ingin mencontoh. Sebab ia sendiri, sudah memiliki pandangan hidupnya.
"Sore, Tante. Apakabar?" sapa Adam sopan, sambil berjalan mendekati kumpulan makhluk Tuhan yang berjenis kelamin perempuan itu. "Hai, Wa, tumben nganterin?" Pandangan Adam beralih pada Hawa yang memamerkan senyuman.
"Iya, Mas, Mama lagi manja minta ditemenin ini." Kelakar Hawa bercanda. "Mas Adam apakabar? Udah lama ya kita nggak ketemu?"
"Alhamdulillah baik, Wa." Mengambil salah satu tempat di dekat sang ibu, Adam merebahkan tubuhnya di sana. "Iya, sibuk banget akhir-akhir ini, sampai pulang ke rumah aja jarang."
"Iya, memang." Ibu Adam mengambar sewot. "Ya, gini, Wa. Kalau nggak ditelepon nggak bakal pulang. Mondok aja di apartmentnya. Kayak anak nggak punya orang tua gitu." Sunggutnya ketus.
Adam hanya tertawa saja, lalu menarik tangan sang ibu dan menggosok-gosoknya pelan. "Adam banyak kerjaan, Ma. Kebetulan aja apartment Adam deket sama kantor. Jadi nggak bolak-balik, Ma."
"Adam kagi kejar setoran, Ma. Sebentar lagi pengeluarannya nambah. Jatah beli susu bulanan." Celetuk Reva tanpa rasa bersalah.
"Bedak, sampo, popok, belum lagi gaji pembantu. Makanya dia harus kerja keras." Sambung Diva tanpa beban.
Ya Tuhan, mulut kakak-kakaknya ini memang jahanam. Tidak ingat apa, siapa yang mereka bawa ke acara-acara perkawinan saat belum memiliki pasangan?
"Belum beli stroller lagi, box baby, tempat mandinya. Itu satu kamar di apartmentnya juga mesti dirombak. Ck, biayanya gede, Ma." Reva sama sekali tak terganggu dengan pelototan Adam. Justru ia senang-senang saja menjatuhkan harga diri adiknya di depan tamu mereka. "Budget sih nggak ke mana 50 juta, Dam. Makanya, pasang tariff mahal aja mulai hari ini. Nggak usah biasain digratisin cuma karena kenal sama klien, Dam. Inget, sekolah kamu pakai duit." Cerocos Reva sambil menyerahkan Juna kepada Diva.
Dan setalian dengan Reva, Diva langsung menyambar, mengambil alih mencerca Adam. "Belum lagi nyiapin tabungan pendidikan. Tapi sebelum itu, sediain biaya melahirkan. Walau pakai asuransi, tapi sedia duit juga perlu. Kebutuhan mendesak tuh, kadang-kadang suka nggak masuk akal." Tambah Diva, kemudian pamit untuk mengambilkan cemilan Juna.
Adam mendengar semua petuah kakak-kakaknya. Hanya saja terasa tak pas ketika mereka mengeluarkan nasehat tersebut di depan tamu. Adam ingin mengumpat saja rasanya. Bahkan ia tak berani mengangkat wajah untuk bertemu pandang dengan Hawa dan juga ibunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Different Taste (COMPLETE)
ChickLitLintang pikir, itu adalah cinta. Namun kehadiran Adam membuatnya sadar bahwa tidak semua rasa yang kita anggap sempurna adalah romansa. Tetapi Dennis menolak mundur dari perasaannya. Ia perjuangan rasa yang berdentam di dada sekalipun tabu mengirin...