"Jadi apa maksud Papa semalam?"
Dennis memberondongku dengan pertanyaan yang sama selama beberapa jam terakhir ini. Pertanyaan yang memang tak kujawab. Sengaja ingin menundanya, aku hanya tak siap ia memandang benci ke arah Adam yang turut menjemputnya keluar dari rumah sakit.
"Kamu diem aja, Lin? Kenapa?"
Ada yang bilang, kalau lebih baik kita menunda kebenaran daripada mengatakannya sekarang dan menghancurkan segala yang telah tersusun. Tapi bagaimana aku harus menundanya lagi, sementara Dennis terus merongrongku begini.
Menghela napas, aku menimbang dalam hati, pantaskah aku mengatakan ini sekarang? Di saat kondisinya belum stabil begini?
"Lin?"
Tetapi aku mengenal Dennis, ia akan terus mendesak, hingga aku mengatakan yang sebenarnya.
"Yuk, minum obat dulu." Aku membantunya duduk. Kami tiba di rumah sekitar dua jam yang lalu. Dan sekarang sudah lewat siang. Tetapi Dennis yang keras kepala tak mau meminum obatnya. "Nanti aku ceritain, yang penting kamu minum obat dulu."
Tatapannya menghunus, tetapi aku mengabaikan hal itu dan menyodorkan segelas air padanya. Lalu memilah obat-obat mana saja yang diminumnya pada siang hari.
"Minum, Den," aku mengulang ucapanku.
"Kamu makin ngeselin sih sekarang? Aku baru nggak sadar beberapa hari aja kamu udah berubah gini. Kayaknya kalau pun aku mati, kamu udah nggak peduli."
"Dennis!"
"Apa?" Ia merebut paksa butiran obat di tanganku. "Aku bisa ngerasain kalau kamu udah beda." Ia memasukkan seluruh obat ke dalam mulutnya, lalu meneguk minuman dalam sekali tegukan besar.
"Dennis," aku mencoba melunakannya, walau kini aku tahu semua tampak susah, "please, jangan gini," pintaku memelas.
Ia mendengus dengan kasar, "Jadi mau kayak mana?" Ia menatapku tajam. "Jelasin sama aku, Lin. Apa maksud Papa tadi? Terus kenapa sekarang cowok itu selalu ada di mana kamu ada."
Aku sudah membuat komitmen dengannya.
Dengan pria yang kutahu mampu memberiku masa depan. Sebuah masa di mana Dennis tak akan pernah membawaku ke sana.
Dan pria itu Adam.
Hati kecilku meyakininya. Dan jiwaku pun mengamini keinginan itu.
Tapi masalahnya, ada Dennis yang harus terlebih dahulu kuberi pengertian.
"Den." Ia tak menjawab. Tapi matanya memfokuskan diri padaku. Berat ingin mengungkapkan, aku menyentuh lengannya yang kurus. Mengusap tanganku di area bekas infusnya, aku mengecupnya lembut, kemudian kembali menjatuhkan tatapan ke matanya. "Kita nggak bisa kayak gini terus, Den," aku memulainya dengan perlahan. Tanganku merambat ke pipinya. "Cowok nggak ada limit soal berumah tangga, Den. Tapi cewek ada limitnya."
"Terus, maksudnya?" Rahangnya mengeras.
Aku memejamkan mata seraya menjauhkan tanganku dari tubuhnya. Menguatkan tekad dalam hati, aku berharap tekadku tak akan goyah lagi.
Benar.
Sudah saatnya mengakhiri ketidakpantasan ini.
Dan kesungguhan Adam yang ia sampaikan tempo hari memberi kekuatan tersendiri untukku.
"Adam ngajak aku berkomitmen, Den. Dan hatiku pengen mencoba serius." Dennis mengumpat yang membuat mataku terpejam enggan menatapnya. "Kita nggak bisa gini-gini aja, Den. Aku perempuan, aku terikat sama usia dan kodrat sebagaimana Tuhan menggariskan kewajiban kepada kaumku."
KAMU SEDANG MEMBACA
Different Taste (COMPLETE)
ChickLitLintang pikir, itu adalah cinta. Namun kehadiran Adam membuatnya sadar bahwa tidak semua rasa yang kita anggap sempurna adalah romansa. Tetapi Dennis menolak mundur dari perasaannya. Ia perjuangan rasa yang berdentam di dada sekalipun tabu mengirin...