45. Sama-sama Salah

25.3K 3.3K 180
                                    

Hallooooooooo... Udah lama gak posting yaaa... Hahahaa... Iya, file di flesdis males mesti colok colok ke lepy egen. Hehehehe... Jadi ya begitu, happy reading yaaa say say... Btw, ini udah mau selesai lhoooooo...

***

Sudah pukul sepuluh malam, saat Dennis  sampai ke rumahnya. Setelah  pada akhirnya ia kalah pada tubuhnya yang tak bisa di bawa menyetir seharian, Dennis membiarkan Tissa yang mengemudi.

Lalu dengan biadabnya, Tissa malah membawanya ke rumah sakit. Dan Dennis tak bisa mengelak, apalagi menyumpah serapahi gadis itu. Toh, tubuhnya memang mendadak lemas dan tak bertenaga untuk memberi Tissa sanggahan.

Namun ajaib, ketika Tissa berjanji tak akan mengatakan hal itu kepada keluarganya. Bukan apa-apa, memang Dennis yang memintanya, itupun karena ia tak mau keluarganya mendadak panik karena tiba-tiba daya tahan tubuhnya menurun begini.

Jadi, dengan wajah yang semakin pucat, Dennis memasuki rumahnya.  Mencoba mempertahankan wajah datar khas dirinya, tak lupa Dennis menyertakan sikap arogan menemani langkahnya. Ck, Dennis sudah sangat terbiasa melakukan semua ini. Bukan apa-apa, menjadi lemah dan menyedihkan bukanlah hal yang patut dibanggakan. Apalagi ketika label penyakitan pun turut menjadi embel-embel di belakangnya.

Dan Dennis tak menyukai hal itu. Membayangkan tatapan-tatapan penuh kasihan yang selalu tersemat untuknya, membuat jiwa Dennis perlahan memberontak. Ia benci dikasihani. Apalagi oleh wanita yang memenjara hatinya. Keinginan Dennis itu sederhana, bisa merasa cukup kuat untuk Lintang. Namun hasilnya, Lintang akan selalu lebih kuat untuknya.

Ck, menyedihkan ya?

Tapi hal itu sudah lama terjadi, jadi Dennis bisa apa selain tersenyum miris untuk hidupnya sendiri.

“Dari mana kamu?”

Suara Bagas menghadang Dennis, begitu langkahnya menyentuh keramik di teras rumah. Rupanya Bagas memang menunggunya di sana.

“Kamu bikin semua orang khawatir, Dennis. Apa-apaan sih maksud kamu, hah?” ketika Bagas merasa bahwa anaknya tak akan meresponnya, Bagas kembali melayangkan kalimat-kalimat lain. “Mau jadi apa kamu, kalau begini terus? Masalah itu di hadapi, Dennis. Bukannya lari dan terus menghindar.”

Ia tahu bahwa Bagas sudah emosi. Tetapi Dennis masih enggan menanggapinya, lalu ia pasti diberi label anak tidak sopan. Dan itu artinya akan semakin banyak omelan yang ia terima. Dennis sedang tak memiliki waktu untuk mendengarkan semua itu. Tubuhnya merengek minta istirahat, juga ia butuh obatnya sesegera mungkin. Ia lupa membawa obatnya karena terburu-buru tadi.

“Dennis capek banget, Pa. Dennis istirahat dulu, ya?”

Aih-alih menjawab semua pertanyaan yang sudah terlontar, Dennis masih berusaha meredam diri. Ia sangat lelah jika harus terus berdebat dengan Ayahnya. Ditambah pengalamannya sendiri, Dennis tahu ia tak akan pernah bisa menang. Namun Dennis masih mencoba. Walau Dennis tahu hal itu tak akan membuat Bagas diam, tetapi ia tetap saja nekat mengatakannya.

“Kamu pergi hampir 12 jam, Dennis. Dan kamu baru ngeluh capeknya sekarang? Mau apa kamu sebenarnya?” Bagas berkacak pinggang.

“Mau Dennis tidur, Pa. Dennis beneran capek sumpah.” Tadi bahkan Dennis harus di larikan ke rumah sakit. Ia mengalami mimisan di jalan. Suhu tubuhnya mendadak meningkat. Padahal ia berada dalam mobil yang lengkap dengan pendingin. Nyaris pingsan andai Tissa tak segera mengambil alih kemudinya.

Different Taste (COMPLETE) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang