36. Anjani

24.9K 3.3K 84
                                    

***

"Mbak Anjani, ya?"

Suster dibagian Administrasi menyapa Anjani dengan senyum ramah. Sebuah bukti, bahwa Anjani dan tempat ini memiliki ikatan yang cukup baik. Sampai-sampai, perawat itu masih saja mengenal Anjani.

Seperti biasa, Anjani adalah orang yang sangat mudah akrab dengan siapa saja itu pun, mengangguk ramah dengan membalas sapaan barusan. "Masih inget aja sih lo sama gue? Padahal udah lama deh gue nggak ke sini." Kelakar Anjani santai. Tapi senyum kecut yang terselip pada bibirnya, menjadi bukti lain, bahwa semua itu hanyalah sekadar basa-basi semata.

Dan Lintang menerima baik sirat yang diberitahukan Anjani padanya. Isyarat lain, bahwa tak perlu terlalu akrab pada perawat yang hanya bermanis-manis di bibir saja tersebut.

Vina—nama suster itu—hanya melebarkan senyuman sembari mengangguk. Di bibirnya tetap terpasang senyum manis berupa bisa beracun."Mbaknya susah dilupain sih, udah cakep, baik lagi."

Anjani tak bisa menghentikan dirinya memutar mata. "Hahaha ... bisa aja sih, Vin." Warga Negara Indonesia sekali yang gampang terkena sogokkan. Walau Anjani memang tidak pelit dengan uang, tetapi ia cukup pintar dengan tak memberinya secara cuma-cuma pada orang. Beberapa kali kunjungannya ke sini, ia tak pernah lupa membawa buah tangan sebagai oleh-oleh itupun karena ia memang cukup mengenal dokter yang membuka tempat ini. "Dokter Yeni ada nggak sih? Tadi gue sempet lupa alamat klinik ini, jadi singgah dulu ke kafenya Erwin minta alamat." Anjani tak berdusta. Ia sungguh-sungguh lupa alamat klinik ini. Beruntung ia ingat pada Erwin, kalau tidak, mungkin ia akan membawa Lintang berkeliling Jakarta.

"Ada kok, Mbak." Vina melirik Anjani dengan penasaran. Sekadar mengintip, apakah kali ini Anjani akan melakukan aborsi lagi. "Mau periksa atau kuret, Mbak?" tanyanya pelan. Sebab, walau sudah lama beroperasi sebagai klinik aborsi, Dokter Yeni yang memiliki tempat ini, memang merupakan ahli kandungan. Jadi selain melayani operasi illegal itu, tempat ini juga memberi pelayanan bagi wanita-wanita hamil yang ingin memeriksa kandungannya.

Anjani setengah mendengus sambil memperhatikan Lintang yang sedari tadi hanya diam saja disebelahnya. "Kuretlah," Anjani menjawab tanpa berpikir dua kali. "Bukan gue sih, gue bawa pasien baru ini." Ia menunjuk Lintang dengan dagunya. "Bisa tolongin gue ketemu duluan sama Tante Yeni 'kan?"

Pandangan yang tadi terfokus penuh selidik pada Anjani berubah menyelidik Lintang tajam. Suster itu bahkan tak mau repot-repot untuk menutupi rasa ingin tahunya. Hal yang kemudian membuat Lintang gerah karena terus menerus diperhatikan seperti itu.

"Enggak usah gitu juga kali lo ngeliatin temen gue." Anjani memahami sepenuhnya bagaimana Lintang tak nyaman terus diperhatikan begitu. "Udah sih, sana bilang sama Tante Yeni, gue datang. Urgent ini ya, gue nggak mau nunggu lama." Aura Anjani yang tadi ramah berubah ketus.

Sumpah, ia memnag paling benci pada orang-orang yang terlihat ikut campur dengan urusan orang lain. Apalagi kelakuan suster itu tadi benar-benar sudah tak bisa Anjani tolerir. Pandangan menilai yang ia berikan pada Lintang tadi, jelas-jelas membuat Lintang semakin tak nyaman. Dan Anjani cukup paham bagaimana Lintang selama ini. Lintang benci menjadi pusat perhatian.

"Duduk dulu deh, Lin." Anjani segera bergerak menuju deretan kursi panjang yang berada di koridor. "Gue nggak suka banget sama mulut-mulut yang suka ngebacot gitu." Ia mengomentari perilaku suster tadi. "Nanti gue bilang sama Tante Yeni, suruh ganti suster deh. Muak gue sama dia."

"Nggak boleh gitu," Lintang berucap pelan. "Itu namanya lo mutus rezeki orang. Biar aja deh, toh, hak dia juga kalau penasaran sama orang-orang yang datang ke sini." Lintang menambahkan sembari duduk. Melihat ke sebelah kirinya, tampak sepasang suami istri yang sepertinya ingin memeriksa kandungan. Terlihat dari perut sang istri yang membuncit.

Different Taste (COMPLETE) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang