54. Salah Siapa? Lintang, Adam, atau Tissa?

33K 3.8K 149
                                    

Yeaayyy ... akhirnya update yaaa... wkwkkwk... harusnya semalam aku update, cuma lagi ada kemalangan. Makanya baru bisa update sekarang. yukkzzz deh, Happy Reading ...

***

Hujan saja memberi kabar lewat mendungnya.

Lalu, bagaimana denganmu rindu?

Adakah kabarmu untukku?

***

Tissa berjalan perlahan dengan kedua tangan memeluk tubuhnya. Angin yang berembus tidaklah sekencang itu, namun entah kenapa Tissa merasa angin-angin itu mampu menerbangkannya sampai tak tentu arah. Cukuplah pikirannya saja yang melanglangbuana, Tissa tidak ingin sampai raganya juga.

Saat langkahnya yang terseok-seok menapakki paving blok berwarna bata, ia tak dapat menghentikan air matanya. Memejamkan mata, Tissa merasa percuma. Karena yang terlihat dalam gelap itu adalah bayangan dia—yang telah tiada. Lalu Tissa bisa apa?

"Dennis ..."

Bibir pucatnya bergetar saat melafalkan nama itu. Terasa ada yang menikam jantungnya, namun setelah itu Tissa tak lagi dapat merasakan sakitnya. Hatinya sudah kebas. Terlalu kebas bahkan, sampai ia sendiri tak pernah menyadari bahwa darahnya telah membanjiri jiwa.

"Dennis ..."

Pelukkannya pada Anyelir di dadanya kian menguat. Sementara sesak yang ia rasa makin membuncah. Tissa ingin roboh saja rasanya. Ia ingin tidur di tanah juga kalau memang bisa. Tetapi otaknya yang lelah, memahami bahwa tidurnya di sana tak akan sama dengan lelap yang dirasakan Dennis. Mereka tidak akan berjumpa. Sekali lagi, takdir itu bukan miliknya.

Langkah Tissa kian memberat, begitu gerbang pemakaman terlihat di matanya yang sayu. Deras aliran air matanya mengaburkan pandangan, tetapi Tissa tahu, di sanalah tubuh orang yang ia kasihi tersimpan untuk selama-lamanya. Dan Tissa merasa, ia sudah tak bisa lebih berdaya lagi daripada ini.

"Ya, Tuhan ..."ia tak sanggup. Tidak untuk mendapati Dennis tak lagi bernyawa. "Kenapa harus mengambilnya, Tuhan? Kenapa harus memanggilnya pulang?" andai Tuhan hanya membuat Dennis tertidur waktu itu, pasti sekarang Dennis sudah membuka mata. Dan bukan malah terkubur di bawah tanah.

Tak sanggup lagi menopang tubuh, Tissa membiarkan lututnya yang goyah, jatuh. Lupa bagaimana sakitnya benturan itu, Tissa bahkan tak meringis, ketika pertemuan antara paving blok yang ia pijak dihantam kuat oleh lututnya sendiri. karena satu-satunya sakit yang ia rasa adalah bagaimana perihnya ditinggalkan Dennis.

Ini pertama kali ia kembali ke pemakaman setelah tangis pilu hari itu. Walau air matanya sudah sempat mengering, Tissa kembali membasahinya hari ini. Hari di mana ia rindu dan ingin bertemu. Namun yang akan ia temui hanyalah batu nisan bertuliskan nama pria yang ingin ia sandingkan dengan namanya di buku pernikahan. Tuhan yang menggariskan, manusia seperti dirinya diminta pasrah dan tawakal, tetapi jiwa Tissa belum sekuat itu.

Samar-samar, Tissa mendengar langkah kaki melewatinya. Tissa mendongak, dan bayangan seorang pria membayangi pelupuk. Tetapi Tissa tidak segila itu dengan berpikir Dennis di turunkan lagi oleh Tuhan ke hadapannya.

"Tolong," pelan-pelan Tissa mendengar suara lemahnya sendiri menggema di kepala. "Tooo ... long," namun rupanya, rintihan itu tidak mampu membuat langkah-langkah pria yang melewatinya terhenti. Jadi Tissa menarik dalam-dalam, ia butuh banyak tenaga agar suaranya mengeras. "Tolong ...!"

Tissa tersenyum sekilas menyemangati dirinya, begitu langkah kaki pria tersebut terhenti. Mungkin, saat pria itu berbalik, pria itu akan mengira dirinya hantu atau orang gila karena rambut awut-awutan beserta tampang yang begitu menyedihkan seperti ini. Namun Tissa sudah tidak memiliki tenaga untuk merapikan dirinya.

Different Taste (COMPLETE) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang