Seorang Muazin

165 3 0
                                    


Karya Farisan Kamestiawara Pratama

Orang itu datang lagi melewati jalan depan kontrakanku. Pakaiannya selalu sama setiap hari, yaitu koko berwarna putih yang sudah lusuh. Kadang juga berganti warna menjadi koko biru atau hitam, namun lusuhnya tetap sama.

Ketika orang itu lewat melintasiku, aku langsung meludah di depannya. Dia menghindar, ludahku jatuh ke jalan. Lalu aku mencibirnya, "Cuih... Dateng duluan mulu ke masjid. Mau jadi juara pertama ya? Gak punya kerjaan sih, haha!"

Orang itu mengelus dada seraya mengucapkan istigfar. Batinku selalu merasa puas setiap dia merasa tersindir. Orang itu adalah Parman. Dia adalah orang yang selalu azan di masjid dekat kontrakanku, atau apa ya sebutan untuk orang yang azan? Aku lupa. Setiap jam tujuh malam, aku selalu merokok di teras, menunggu Parman lewat, mencibirnya, lalu mengerjakan tugas kuliah.

Di tengah hiruk pikuk perkampungan di ibu kota ini, masih ada saja orang yang rajin sholat di masjid. Padahal menurutku semua orang sedang sibuk. Bapak-bapak belum pulang kerja. Anak-anak sedang menonton televisi, sedangkan ibu-ibu sibuk memasak makan malam untuk suaminya. Aku ini orang sibuk, tidak pernah sholat. Maka dari itu hobiku adalah menyindir orang seperti Parman, pengangguran yang tidak memiliki kerjaan sehingga bisa mengumandangkan adzan setiap waktu.

Aku tidak pernah absen bila meledeknya. Mungkin sudah tiga bulan aku melakukan ini. Namun suatu hari, aku merasa ada yang tidak biasa.

Saat itu aku melakukan hal yang sama pada Parman. Yang menarik adalah ludahku tepat mengenai sarung Parman. "Yah, gak bisa sholat deh. Sarungnya kena najis haha!"

Dia pun marah, "Astagfirullah, semoga Allah akan membalas perbuatanmu. Ingat, karma itu ada !". Lalu ia pergi tanpa mengacuhkanku.

"Apa lo bilang? Berani-beraninya lo bilang gitu sama gue? Ayo sini kita berantem!", kataku sambil menggulung lengan kaosku.

Kurang ajar si Parman, sudah mulai songong. Tak kusangka, orang sesabar Parman juga bisa marah. Ternyata kesabaran itu ada batasnya. Ini adalah pencapaian terbaikku, bisa membuat Parman marah. Sejarah harus mencatat ini.

Setelah rokokku habis, aku pergi ke kamar untuk mengerjakan tugas kuliahku. Namun ada yang aneh. Sudah setengah jam lewat, tidak terdengar suara merdu Parman dari pengeras suara masjid. Aku berpikir mungkin aku tidak mendengarnya, tapi jarak masjid sangat dekat. Bahkan aku sempat berpikir bahwa setan telah menutup teligaku agar tak pernah mendengar adzan. Apa mungkin si Parman ketiduran di masjid? Ah, tidak mungkin.

Gara-gara tidak ada suara adzan isya, tidak seorang pun yang melewati jalan depan kontrakanku untuk menuju ke masjid. Merasa ada yang tidak beres, aku bergegas mematikan laptopku dan bergegas ke masjid.

Sesampainya di halaman masjid, aku langsung masuk ke dalam masjid. Benar saja, masjid kosong, tidak ada siapapun di sana kecuali aku. Kalau begitu siapa yang akan mengumandangkan adzan? Aku pernah membaca artikel di internet bahwa salah satu tanda kiamat adalah tidak ada adzan. Aku panik! Jangan sampai gara-gara ini, besok matahari terbit dari barat. Bisa gawat itu! Aku kan belum menikah, bertobatpun belum.

Pada saat itu, aku memberanikan diriku untuk beradzan dengan Berbekal ingatan saat aku praktek adzan di sekolah dasar dulu. "Allahuakbar Allahuakbar.."

Suaraku memang tidak semerdu dan sepanjang Parman, tapi aku berusaha agar tidak salah. Pikiranku terus mengawang saat praktek adzan bersama Ustad Arifin saat sekolah dasar. Teman-teman menertawakanku karena bacaan 'hayya lasshola dan hayya lalfalah' tertukar. Aku malu, dan tidak melanjutkan praktekku. Kata mereka aku bodoh. Kata mereka aku jarang sholat. Yang lebih parahnya, mereka mencaci maki ayahku yang mantan napi. Katanya ayahku tidak pernah mengajariku kebaikan. Waktu itu aku sakit hati. Aku bercerita pada ayahku, namun bukan kasih sayang yang aku dapat melainkan cambukan dari besi ikat pinggangnya. Katanya aku anak kurang ajar, yang tidak bisa beradzan, padahal ayahku pun tidak hafal.

Saat itu aku tidak pernah berani untuk beradzan lagi.

Aku berhenti sebentar setelah membawa 'asyhaduanna muhammadarasulullah'. Kali ini aku tidak salah membaca kelanjutannya. Aku merasakan sesuatu yang membuat jiwaku tentram. Seketika kerumitan dan dendam dalam hidupku lenyap. Rasanya malaikat telah berbisik padaku untuk kembali ke jalan yang benar.

Hingga akhirnya aku mengakhiri azanku. Segala sesuatu menjadi indah, hatiku merasa lega.

Perlahan masjid mulai dipenuhi oleh jamaah. Mereka terlihat kebingungan setelah melihatku. orang yang tidak pernah sholat dan selalu mencaci maki Muazin, kini telah mengumandangkan adzan di masjid.

Tiba-tiba terdengar suara teriakan dari dalam tempat wudhu. Aku lari menuju tempat wudhu, di sana tergeletak Parman di salah satu bilik toilet.

"Parman! Bangun, Parman! Ini tidak lucu!" Kataku sambil menggoyang-goyangkan tubuhnya. Tak ada respon dari parman.

"Hei, kau apakan dia?" Tanyaku geram pada orang yang tadi berteriak.

"Aku tidak tahu. Sewaktu aku masuk, dia sudah begini.", Orang itu panik.

Jamaah lain yang penasaran pun mengerubungi Parman. Aku berteriak, "Cepat, panggil Ambulan!". Beberapa lama kemudian suara sirine ambulan terdengar. Parman dibawa ke rumah sakit terdekat. Di perjalanan, aku terus mengucapkan istigfar sambil melihat kondisi Parman.

Sayangnya Parman tidak tertolong. Ruhnya sudah melayang ke luar tubuhnya. Dokter bilang Parman terkena serangan jantung. Padahal jika tadi cepat ditangani, mungkin Parman masih bisa diselamatkan. Aku terlambat menghampirinya. Aku baru ingat, harusnya aku ke tempat wudhu dahulu sebelum melewati batas suci. Semua sudah terlambat.

Penyesalan itu mengerubungi jiwaku. Diriku dirundung dosa dan rasa bersalah. Aku baru sadar, yang aku lakukan ke Parman semata-mata adalah dendam terhadap masa kecilku dulu. Lucunya, aku mencibir orang yang bacaan adzannya sudah bagus.

Parman dikubur dengan damai, di TPU dekat perkampungan kumuh. Aku tidak tega, orang baik itu meninggal duluan. Seorang muadzin yang tabah dan selalu dihina itu telah pergi.

Hari-hari setelah parman meninggal, aku mengalami stress berat. Aku mengurung diriku di kamar dan tidak berkuliah. Kadang Parman hadir dalam mimpiku. Kini dia yang meludahi aku, bukan aku. Kadang juga aku bermimpi melihat Parman tersenyum memandangku sedang mengumandangkan adzan.

Merasa diriku bersalah atas kematian Parman, aku harus menebus dosaku. Hanya Parman yang memiliki suara merdu saat beradzan. Mulai saat itu aku berlatih adzan agar suaraku bagus. Hingga saatnya aku siap, aku menggantikan Parman menjadi muadzin.

Aku hahagia bisa memanggil orang lain untuk beribadah. Tak peduli dengan masa lalu seseorang, masa lalu tidak bisa menentukan baik buruknya dirimu sekarang. Dan untuk balas dendam, rasanya sifat itu telah hilang dalam diriku.

Setiap aku beradzan, aku memikirkan wajah ustad Arifin, yang saat itu menghiburku ketika dulu aku menangis di masjid. "Sudah, lah. Salah itu hal yang biasa, dengan kesalahanlah seseorang bisa memperbaiki dirinya. Jangan pikirkan omongan temanmu, belum tentu mereka lebih baik darimu. Ustad yakin kelak kamu akan menjadi muslim yang sholeh.", Perkataan Ustad Arifin membangunkan semangatku.

Aku yakin Ustad Arifin dan Parman sedang tersenyum melihatku dari surga.

Kumpulan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang