Petak Umpat

154 2 0
                                    

                                                                 Karya Farisan Kamestiawara Pratama

Hari itu pelabuhan Sunda kelapa sangat ramai. Bahkan seseorang harus mengucapkan permisi bila ingin melewati kerumunan. Banyak perahu yang sedang berlabuh di sana, Entah perahu milik pedagang yang memang ingin berdagang di Batavia atau perahu milik pedagang yang singgah sebentar untuk beristirahat, lalu menyebarkan keturunan rasnya pada wanita pribumi.

Orang-orang berlalu lalang ke sana kemari. Mereka sibuk melihat kapal pinisi yang baru berlabuh, milik Belanda sepertinya. Awak kapal itu menaruh jangkar ke dasar laut, menurunkan layar, lalu melempar tali ke dermaga. Seseorang di dermaga mengikatkan tali itu ke kayu. Kini kapal itu menempel sempurna di dermaga.

Sungguh megah kapal itu. Moncongnya mantap menusuk ke depan, dengan hiasan kuda terbang di ujung depan. Orang-orang Belanda menggunakan kapal itu untuk mengantarkan orang penting dari Belanda, bukan digunakan untuk transportasi monopoli perdagangan.

Dari kapal itu, turunlah seorang pria eropa yang berjenggot lebat. Ia menggunakan pakaian pejabat Belanda. Tangan kanannya menggandeng wanita, itu pasti istrinya. Lalu di belakangnya, seorang noni cantik belanda turun. Ia menggunakan pakaian putih dan rok biru. Rambutnya pirang panjang bergelombang. Bisa dilihat ia kesulitan berjalan melewati papan ke dermaga.

"let op uw stap genegenheid" (Perhatikan langkahmu, sayang) Pria itu berkata pada perempuan di belakangnya, yang mungkin anaknya.

Si perempuan hanya tersenyum dan melanjutkan berjalan.

Masayakat yang mengerubungi dermaga penasaran, siapa keluarga belanda itu. Salah satu orang yang mengalungkan kamera memberi tahu sebelahnya, bahwa itu adalah saudara jauh Van Den Bosch, gubernur Belanda saat itu yang tengah berada di Banten. Sang ayah bekerja pada pemerintah. Dan di belakang itu adalah anaknya, yang bernama Stella Zeehandelar.

Di pinggir jalan sudah terparkir mobil untuk menjemput keluarga itu. Keluarga itu pun masuk ke mobil dan meninggalkan Pelabuhan Sunda Kelapa. Mobil hitam itu melaju pergi ke tengah Batavia, menuju rumah megah untuk bangsawan Belanda, yang dekat dengan Balai Kota.

Masyakat pun kembali melanjutkan aktivitasnya.

***

Sudah tiga bulan mereka tinggal di Batavia. Ayahnya bekerja di Balai Kota, ibunya menunggu di rumah, dan Stella bersekolah di sekolah Belanda.

Setiap pulang sekolah, Stella pulang menaiki sepeda ontelnya. Ia senang bersepeda, melihat-lihat pemandangan kota Batavia. Gedung gaya Belanda menghiasi sepanjang jalan, dengan pot-pot bunga di lantai 2, juga dengan pintu panjang dan jendela yang khas.

Di sabtu sore, Stella sedang asyik mengayuh sepedanya dengan kencang. Waktu itu bulan Sepetmber. Hujan bisa datang kapan saja, bahkan bisa turun sepanjang waktu. Sayang, Stella lupa membawa payung. Ketika hujan deras mengguyur Batavia, ia memilih berteduh di pinggir jalan.

Ia berdiri di depan toko roti. Badannya menggigil, rambutnya basah kuyup, Stella menggosok-gosokan tangannya agar terasa hangat. Saat itu seorang pemuda berjaket datang menghampiri, ia juga terkena hujan dan ikut berteduh di samping Stella. Koran-koran yang dibawa basah. Sudah pasti ia loper Koran. Kini dua orang itu menatap rintikan air hujan yang turun, di depan toko yang tutup.

Pemuda itu menengok pada Estelle, "Wat zijn je het koud?"(apa kamu kedinginan?)

Stella hanya mengangguk. Itulah pertama kali Stella berbicara pada pemuda pribumi. Sebelumnya tidak ada pemuda pribumi yang mengajaknya mengobrol.

"Draag mijn jas, kan worden opgewarmd" (Pakai jaketku, ini bisa menghangatkanmu), pemuda itu melepaskan jaketnya dan memberikannya pada Stella.

Stella tersenyum dan menjawab, "Terimakasih."

Kumpulan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang