Fajar

87 1 0
                                    

Saat ini jam tiga pagi. Satu lagi malam pergantian tahun yang kulewatkan tanpa euforia. Hanya kembang api yang menghiasi langit malam dan suara terompet yang samar-samar terdengar dari berbagai arah. Sementara aku, hanya menyaksikannya dari atas balkon apartemenku, tanpa rasa senang sedikitpun. Semenjak hari itu, aku mulai lupa rasanya bahagia. Hanya penyesalan yang terus-menerus menghantui diriku.

Dari kecil aku bercita-cita menjadi orang kaya. Aku ingin punya bisnis sukses, dan dengan begitu aku bisa menjadi orang kaya. Aku pikir, kebahagiaan akan dengan mudahnya kudapat jika aku punya banyak harta. Tapi, itu semua hanyalah pemikiranku puluhan tahun yang lalu, seorang bocah yang kemudian tumbuh menjadi remaja yang berpendirian teguh memiliki mimpi sebagai pengusaha sukses.

Faktanya sekarang, impian anak itu tercapai. Tapi, dirinya tak bahagia. Tidak, setelah peristiwa itu terjadi.

Usiaku yang kini sudah berkepala tiga tapi masih melajang membuat semua orang bertanya-tanya. Bukan karena tidak ada yang mau denganku, tapi, mereka bilang aku sulit didekati.

Padahal, bukan itu. Dalam kurun waktu belasan tahun ini aku sudah mencoba berpacaran dengan beberapa orang, tapi, percuma saja. Hatiku masih jatuh padanya. Meski orang bilang waktu bisa menyembuhkan, nyatanya hingga kini aku masih belum bisa membuka hatiku untuk orang lain.

Awal peristiwa itu terjadi, aku sempat mengalami gangguan jiwa, beberapa teman dekatku yang khawatir membawaku ke psikiater. Bukannya membaik, kondisiku justru semakin parah. Perlakuan yang dilakukan orang itu bukannya menyembuhkanku, tapi malah menimbulkan trauma bagiku. Sejak awal aku sadar, 'orang itu' nggak waras.

Teman-temanku selalu bilang "ini demi kebaikan kamu, Ka." Aku tidak merasa begitu. Mereka tidak percaya omonganku. Mereka pikir karena aku yang depresi, aku tidak bisa berpikir secara sehat. Mereka pikir aku gila. Semenjak itu, aku tahu bahwa di dunia ini tidak ada orang baik, tidak ada orang yang bisa kupercaya.

Kondisiku yang kian memburuk membuatku sampai ditempatkan di daerah pedesaan di pegunungan jauh dari perkotaan yang khusus diperuntukkan bagi orang-orang sepertiku. Aku ditempatkan disana bersama 'dokter gila' itu.

Mengerikan.

Rasanya seperti aku benar-benar diasingkan dari dunia ini, tak memiliki tempat, dan tak pantas untuk berada di dunia ini lagi.

Kau tahu, apa yang lebih parah dari itu? Orang itu bukanlah orang yang menyembuhkanku, melainkan, orang gila yang membuat pasiennya juga gila.

Dia melakukannya padaku, dia merebut satu-satunya harta paling berharga bagi seorang wanita.

Aku mengandung anaknya, dan 'orang itu' tidak mau bertanggung jawab. Aku yang baru berusia dua puluhan kala itu, memutuskan untuk mengarbosi janin yang ada di dalam tubuhku ini.

Keluargaku malu dan membuangku. Kini, aku tidak punya siapa-siapa lagi.

Saat sedang terlarut dalam kesedihan yang mendalam, aku sempat ingin mengakhiri hidupku, sampai seorang pria yang entah siapa datang menyelamatkanku.

Sejak saat itu, dia terus membantuku. Memberikanku tempat tinggal dan segala kebutuhan hidup. Membantuku untuk bangkit, merintis bisnis kecil yang akhirnya sukses hingga sekarang. Tapi, lagi-lagi, aku ditinggalkan.

Hubungan antar manusia itu dangkal. Mereka datang, menjadi dekat dengan kita hingga tak terpisahkan, lalu pergi begitu saja.

Dia juga sama. Dia melarangku mengakhiri hidup, tapi faktanya, dia meninggalkanku dengan membiarkan tubuhnya hancur tak bersisa oleh argo wilis yang sedang melaju cepat itu.

Tragis. Dia mati dengan tragis. Dia tidak pernah cerita tentang masalahnya selama ini, dan membuatku bertanya-tanya apa yang salah dari hidupnya.

Tidak ada yang bisa kulakukan. Waktu terus berjalan, begitupun aku. Tapi, meski tubuhku terus melalui hari demi hari, ragaku seolah terperangkap di masa lalu. Setiap kali peristiwa berat menimpaku, hanya 'dia' yang selalu muncul di kepalaku.

Ya,

Kala keperawananku direnggut oleh 'dokter gila' itu,

kala keluargaku membuangku,

kala Seno membiarkan dirinya ditabrak kereta,

hanya wajahnya yang selalu teringat olehku.

Sejak kejadian itu, aku tidak lagi bisa bangun pagi. Saat terbangun di saat fajar baru tiba, air mataku selalu mengalir dengan derasnya.

Padahal dulu, fajar-lah yang paling kusuka. Bahkan, senja sekalipun tidak dapat mengalahkan cantiknya fajar bagiku.

Hei,

apa kamu ingat?

Pagi itu, saat kita
menyaksikan matahari terbit dari atas bukit, kamu pernah bertanya padaku, "kenapa kamu lebih suka fajar, di saat orang-orang lebih suka senja?"

Apa kamu ingat, apa jawabku waktu itu?

"Fajar itu menarik. Gelap dan dinginnya malam langsung terobati dengan hangatnya fajar yang hadir secara tiba-tiba, membawa cahaya yang menyilaukan dan sinar yang menghangatkan, membuatku selalu semangat untuk menghadapi hari, menjadi bukti saat kesedihan melanda, masih ada harapan untuk mengobatinya di hari yang baru."

"Begitu?" Tanyamu.

"Ya. Nggak salah kan orangtuamu kasih kamu nama Fajar."

"Maksudnya, aku persis seperti alasan kamu menyukai fajar?"

Aku mengangguk, "ya, dan karena itu, fajar yang kusuka ada dua. fajar saat ini, dan fajar yang kini sedang berbicara denganku."

Aku menangis.

Sementara itu, sang fajar mulai datang, cahayanya menembus jendela yang ada persis di hadapanku.

Lamunan di awal tahun ini, berhasil membuatku terjaga semalaman.

"Fajar, apa kabar dirimu disana? Tunggu aku, sebentar lagi aku menyusulmu." Gumamku, seraya menenggak puluhan pil tablet obat penenang yang sedaritadi sudah kusiapkan.

Meski aku tahu, aku yang sekarangpun, masih belum bisa menebus keegoisanku waktu itu. Keegoisanku yang merenggut nyawamu.

Karya: Raudhina Hilma Saphira Isandriyani (isandriyani)

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 12, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Kumpulan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang