MEMORABILIA

288 8 0
                                    

“Di sini aku tak akan bicara banyak. Cerita sedikit saja. Mungkin hanya sebatas yang aku ingat.” aku harus mulai berbalik waktu kembali. Memutar memorabilia yang selalu berlayar ke ujung dalam pikiran sambil diriku menatap tetes-tetes air itu jatuh juga di atas tanah dengan bunyinya memekikkan telinga namun damai di hati.

Memorabilia yang muncul pertama kali itu adalah dia menyukai hujan. Sungguh-sungguh menyukainya. Dia jatuh hati pada suara hujan dengan bau tanah yang tersiram air-air dari awan tersebut.

Aku selalu heran. selalu saja senyum terlukis pada bibirnya seraya mengucap syukur, menyesapi dinginnya udara berhembus tiap kali rintikan-rintikan air hujan itu jatuh menabrak seluruh benda yang berpijak di bumi, tak ingin mengelak hukum gravitasi.

Aku selalu bertanya pada satu hal yang sama setiap kali ruang tempat yang terpaksa harus kami diami sesaat. terpaksa karena hujan membelenggu diri kami untuk tidak bermain di ruang terbuka dengan kaki berpijak di atas kumpulan air tergenang yang membuat risih itu. Hal yang selalu kutanyakan padanya adalah mengapa dia sangat menyukai segala hal tentang hujan? Mengapa dia menyukainya kalau hujan saja tak membuatnya bebas melakukan sesuatu pada waktu itu juga?

Jawabannya selalu juga satu yang diulang tiap aku kerap kali bertanya hal itu. Bukan karena hujan adalah situasi yang cocok untuk tidur nyenyak atau membaca buku, menulis, atau pula waktu untuk lamunan hati yang gundah. Bukan pula waktu yang pas untuk menyantap mie yang hangat. hujan adalah belenggu sesaat yang memaksa para penghuni bumi berkumpul menepi pada suatu ruangan, tak ingin merasakan basahnya air yang tumpah dari awan hasil evaporasi seluruh air yang berada di bumi serta dingin udara yang meresap tubuh. namun, ada pula yang tak terbelenggu, naif untuk berjalan di bawah derasnya hujan hingga esok harinya sakit, kedinginan, atau risih karena basahnya airpun dibawanya pulang. Yang terbelenggu semua berkumpul di bawah atap yang sama. mungkin hujan tak membuatmu bebas, tapi karena belenggu sesaat ini aku harus bersyukur karena hujan membelenggu kita bersama di bawah atap yang sama sehingga aku bisa berbagi waktu denganmu, mengikis jarak antara kita yang kadang membuat hati tegang, meskipun hanya sesaat. Jelasnya seperti itu. Aku suka sekali membuatnya mengulang jawabannya kembali, seperti gombalan maut yang tak ada habisnya.

Sebelum bercerita kembali, aku menenggak kopi hitam yang berada di depan mataku sampai setengah cangkir. Aku harus mengingat kembali hal-hal yang merupakan kebersamaan kami waktu itu. aku agak sulit mengingat ketika yang hanya melekat pada memori adalah urutan peristiwa aku dan dia berakhir di ujung cerita kami bersama. Barulah karena kopi yang tadi kuminum, dimunculkanlah ilham tentang dirinya lagi. “Ahhh… hampir lupa. Kopi. Ada cerita tentang dia dan kopi” ujarku.

Ya, memorabilia yang kedua adalah Kopi. Aku beri tahu saja, dia tidak menyukai kopi sebenarnya. Bertolak belakang sekali dengan diriku yang benar-benar penggemar kopi hitam. Selalu saja ia banyak kerjaan, hingga keadaan yang memaksa itu mengharuskannya untuk terbiasa menenggak secangkir kopi. Butuh waktu yang lama untuk ia terbiasa dengan minuman berkafein tersebut, bukan menyukainya.

Aku ingat pertama kali dia minum kopi setelah bertahun tahun lidahnya terasingkan dari campuran manisnya gula di dalam kopi dan pahitnya ampas kopi yang tak sengaja diminum. Hidungnya pun tak terbiasa dengan kuatnya wangi zat kafein yang menusuk hidung. Pertama kali dia minum kopi adalah ketika ia panik dengan kerjaannya Yang belum selesai malam itu sementara besok pagi berkas sudah harus ada tepat diatas meja atasannya. Tetapi, saat itu ia dalam keadaan benar-benar tak bisa sadar pikirannya, kelopak mata yang berat sekali untuk diangkat, dan dia hanya ingin telentang di atas ranjang dan terlelap.

Tak rela waktu menyelesaikan berkas-berkasnya direnggut untuk terlelap ria, ia akhirnya minum kopi dengan catatan sangat terpaksa. 10 menit kemudian, efek zat kafein belum terlihat. Ia masih kelihatan mengantuk. 30 menit kemudian barulah memberikan dia efek yang aneh. Dia tiba-tiba menelponku saat aku sedang tertidur. Dia panik. Benar-benar panik. Di telepon ia tidak memberitahukan alasannya dan dia menyuruhku untuk datang ke rumahnya secepat mungkin. Biasanya dia juga menelponku dengan cemas kalau pipa wastafelnya bocor, tapi kali ini ia lebih dari itu.  Mungkin sekarang rumahnya kebanjiran air dari pipa bocor itu. Sebenarnya aku masih ingin tidur, tetapi daripada aku yang akan diajak bertengkar nantinya, lebih baik aku bangkit dari ranjang dan mengendarai mobilku ke rumahnya larut malam dengan membawa peralatan untuk membetulkan pipa wastafelnya.

Kumpulan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang