Pengganggu Kecil di Rumahku

164 3 0
                                    

Saat istirahat makan siang di sekolah, tiba-tiba ayah menjemputku di sekolah. Kami bergegas ke rumah sakit tempat bunda dirawat. Katanya bunda ingin melihatku, sebab bunda sudah dirawat selama seminggu dan aku tidak diperbolehkan dokter karena kondisinya kritis.

Bunda berbaring di kasur. Berbagai alat mengerikan masuk ke tubuhnya, ke dadanya, ke hidungnya. Diriku hanya bisa menangis melihat kondisi bunda di sisi tempat tidur. Namun bunda masih bisa tersenyum. Mulut Bunda bergetar, bunda ingin berkata sesuatu. Aku mendekatkan diri pada bunda."Anita, nanti kalo bunda udah nggak ada, kamu harus temenin ayah, ya", begitu katanya dengan suara pelan.

"Bunda jangan pergi ! Bunda mau ke mana memang?" Keluhku. Air mataku terus mengalir sambil memeluk bunda.

"Bunda cuma ingin beristirahat, sayang. Di tempat yang lebih baik"

"Kenapa nggak istirahat di rumah saja? Apa makanan mbok nggak enak? Apa ayah dan aku berada di luar rumah melulu? Aku ingin selalu bersama dengan bunda"

Pandangan bunda melihat ke atas. Dari matanya jatuh air mata. "Ini kan sudah takdir, waktu bunda sudah habis. Mungkin Allah hanya memberi waktu yang sedikit bagi bunda. Nanti di syurga, bunda akan merawatmu lagi. Makanya kamu rajin sholat"

Tangisanku semakin menjadi-jadi. Pada saat itu aku memeluk bunda dan melihat wajahnya tersenyum untuk terakhir kali. Kemudian, alat yang menampilkan garis itu berubah menjadi lurus dan berbunyi. Mata bunda tertutup untuk selamanya. Itulah nafas terakhir Bunda kepada bumi. Tanganku terus menggoyang-goyangkan bunda, berharap ia bisa bangun kembali. Ayah memelukku dari belakang. Kami berdua menangis, itulah pertama kalinya aku melihat ayah menangis. Ya Allah, berilah ketabahan kepada kami.

***

Itulah potongan memori kecil yang aku ingat, sewaktu bunda meninggal. Saat itu aku masih lima tahun. Aku masih terlalu kecil untuk mengalami ini semua. Sudah tujuh tahun sejak peristiwa itu. Sejak itu, aku hidup berdua dengan ayah yang bekerja keras untuk memenuhi kebutuhkan kami. Pekerjaan rumah diurus oleh Mbok Iyem, tukang cuci gosok yang bekerja di rumahku pulang pergi dan menyiapkan makanan. Kini usiaku mulai tumbuh menjadi dua belas tahun, aku sudah mulai mandiri.

Namun aku selalu memerhatikan tingkah aneh ayahku belakangan ini. Setiap sore, dia duduk di bangku taman belakang sambil minum kopi. Biasanya ia mengantarkan makanan yang dimasak lebih, kepada tetangga sekitar rumahku. Memang tak ada yang aneh bagi seorang bapak-bapak. Tapi ia duduk sambil memeluk erat foto bunda, lalu melamun dengan tatapan kosong. "Sulis, aku kesepian. Temani aku, Sulis" bisiknya pada foto itu. Sepertinya ayahku stress.

Suatu sore, aku menghampiri ayah yang sedang melakukan kebiasaan anehnya. "Ayah, tidak apa-apa?", Aku duduk di samping ayah.

"Tidak apa-apa. Ayah hanya kesepian" Sadar aku melihat foto bunda, ia langsung melepaskan pelukan pada bingkai foto itu.

Aku pikir, mungkin ayahku kesepian karena hanya hidup berdua denganku. Bagaimanapun juga ia butuh pendamping hidup, agar ada yang menemani dan melengkapi kehidupannya. Aku berikan ide itu pada ayah, "Hmm.... Sepertinya ayah butuh seorang istri"

"Apa kamu yakin? Kamu siap menerima ibu baru?"

"Apa sih yang nggak akan aku lakukan untuk membahagiakan ayah? Aku siap seratus persen! hehe"

Kami berdua tertawa dan ayah mengusap kepalaku.

Tak butuh waktu lama, ayah sudah dekat dengan wanita teman sekolahnya dulu, tante Yuni namanya. Kudengar dari ayah, wanita itu bercerai dengan suaminya. Setiap malam, ayah selalu bercerita tentang tante Yuni itu. Sesekali wanita itu datang ke rumahku dan membawa kaleng biscuit kesukaanku. Mungkin itu adalah cara agar aku menyukainya. Ia juga sering memberi makan kelinci yang aku pelihara di taman belakang rumahku. Tapi perlu kamu ketahui tanpa sogokanpun aku sudah senang dengan wanita itu karena keramahan dan senyuman hangatnya.

Kumpulan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang