Perihal Dukun yang Mencinta

323 2 0
                                    

Karya Farisan Kamestiawara Pratama

"Midah, ada banyak gadis di desa ini, banyak pula yang cantik, tapi kamu lah yang paling cantik." Kata seorang pria muda berkata pada perempuan di sebelahnya, di pinggir sebuah tebing di kaki gunung desa.

"Midah, Ada banyak hal tak bisa dijelaskan di dunia ini, terutama cinta. Kamu adalah potongan terakhir yang menutupi lubang kecil di hatiku. Aku tak tahu mengapa rasa itu datang di saat ini, menuntunku pada seorang gadis yang bisa melengkapi hidupku dan menutupi kekuranganku. Gadis itu ialah kamu, Midah" Mata si pria menatap sendu si perempuan.

"Midah, pada malam ini, aku nyatakan cintaku padamu. Demi malam dan demi bintang, aku akan mencintaimu sampai akhir hayatku, aku siap menjagamu, aku siap menemani hari-harimu sampai kita terlelap dalam hidup yang terus mengalir." Senyum dari si pemuda membuat hati sang perempuan luluh, hanyut dalam malam yang tengah mereka nikmati.

Sang perempuan mulai berbicara dengan pelan, "Aku tahu ini sulit, cinta kita berbeda dengan pasangan lain. Karena kita berbeda, bukan berarti kita aneh, tapi ini lah yang membuat cinta kita tak biasa. Bersama kita bisa lalui matahari yang menyambut pagi, juga bulan yang memisahkan hari."

Raut muka bahagia tergambar di muka mereka berdua, "Bagaimana jika kita menghilang bersama waktu?" si pemuda menimpali.

"Bagaimana caranya?"

"Pejamkan matamu", sahut si pria tidak sabar. Maka perempuan itu pun menuruti. Selagi perempuan itu menutup mata, pemuda itu terlihat membaca sebuah mantra. Tangannya bergerak meliuk-liuk, membuat gerakan seperti menari. Lalu gerakan terakhir, si pemuda menunjuk matahari senja. Setelah pemuda itu memberi tahu si perempuan untuk membuka mata, perempuan itu terkejut.

Bulan sabit semakin dekat dengan tebing mereka. Rasanya mudah untuk menaiki bulan. Dengan satu hentakan kaki, sekitar mereka yang tadinya gelap gulit, menjadi terang, ribuan kunang-kunang keluar dari rumput, membuat cahaya yang kemerlap. Lalu tangan pria bergerak meliuk-liuk ke arah rumput yang basah. Seketika rumput itu berubah menjadi taman bunga yang berwarna-warni, didominasi oleh bunga berwarna putih, bunga tulip.

"Bujang, indah sekali semua ini. Bahkan aku berharap bulan ini bisa kunaiki", Midah bahagia sekali melihat ini, tak pernah ia lihat sihir.

"Tentu saja bisa, Midah". Sontak tangan Bujang menggenggam erat jemari Midah. Bujang bersama Midah melompati udara, lompatannya sangat jauh. Bahkan itu bukan melompat, melainkan terbang. Awalnya Midah ketakutan, namun ia mulai meikmatinya. Genggamannya ia lepas. Midah menari-nari di udara, ke sana dan ke mari. Kunang-kunang pun ikut bersamanya. Tangan dan pinggulnya lihai berputar dan meliuk, membuat gerakan indah. Lalu tangan Bujang meraih Midah dan menariknya duduk di lekukan bulan sabit. Dengan satu mantra, bulan itu bergerak ke arah desa. Kini Midah dan Bujang melihat desa dari atas. Penduduk desa bertebaran keluar dari rumahnya, tak percaya dengan apa yang dilihat. Mereka mematung, mungkin ini yang dinamakan menghilang bersama waktu.

Seusai melayang di atas desa, bulan itu melesat ke atmosfer, menembus awan putih. Di sanalah Bujang dan Midah beristirahat. Sampai Bujang lupa bahwa ia telah menghilang bersama waktu, dan harus mengembalikannya

***

Di suatu pagi, Midah sedang berjalan dari pasar. Di tangannya terdapat sayur mayur untuk memasak sup di rumah. Ia menyusuri perkampungan, dengan jalan kecil di tengah, diapit beberapa rumah sederhana yang jaraknya terpisah-pisah. Anak-anak kecil sedang berlarian bermain bola.

Di perempatan jalan, sekumpulan ibu-ibu sedang asyik menumbuk padi, Midah hendak melewati perempatan itu. Ia tersenyum pada sekumpulan ibu-ibu, namun ibu-ibu itu membalas dengan tatapan sinis. Seorang wanita berbisik, "Awas, ada pacarnya dukun"

Kumpulan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang