ten ;

1.1K 176 10
                                    

Rabu, 30 Agustus.

"Xiao, aku berangkat," pamit Jongdae setelah memakai kaus kaki dan sepatu.

"Eh, secepat itu?" tanya Xiao buru-buru menghampiri Chen yang sedang merapikan jaketnya.

"Supaya aku berangkat lebih awal dari si badak," jawab Jongdae enteng. Xiao cemberut, kesal Jongdae tidak berubah semenjak hari itu. Ya hari dimana Sojung mampir ke rumah menanyakan hubungan Jongdae dengan dirinya.

"Kau masih bertengkar?" Xiao tidak percaya. Sebelah alisnya terangkat. "Kapan kalian akan baikan?"

"Setelah dia mengatakan maaf."

"Kau tahu, Chen? Bahkan kau tak ada gentle-nya sama sekali," ucap Xiao tidak percaya, sebelah alisnya masih terangkat.

"Sudah ya, aku berangkat-sebelum tertinggal bis." Jongdae pergi dengan wajah suram. Xiao ingin menghentikan Jongdae pergi, namun ini hari dimana ia bekerja. Xiao tidak bisa melarang Jongdae untuk tetap disini sebentar saja.

Belakangan ini Jongdae bangun dan berangkat lebih pagi. Terkadang Xiao bangun saat rumah sudah kosong, selain dirinya yang sudah terbangun dari tidur. Bahkan setiap pagi Jongdae tidak pernah sarapan. Ia selalu menggabungkan sarapan dengan makan siang saat jam istirahat.

Ketika makan malam pun Jongdae terus membicarakan Sojung. Ini soal Sojung yang berangkat lebih pagi darinya. Karena hal itu Jongdae berniat bangun dan berangkat lebih pagi supaya ia duluan absen dibanding Sojung. Bagaimana pun juga Sojung tidak mau kalah dari Jongdae. Begitulah terjadi persaingan secara tidak sengaja.

Xiao belakangan ini diam-diam menemui Suho untuk menanyakan bagaimana sikap Sojung. Suho mengatakan sikapnya masih sama saja. Di tempat kerja Sojung dan Jongdae sama sekali tidak bertegur sapa. Suho awalnya khawatir, namun selama Jongdae dan Sojung tidak berubah sikap padanya, semuanya baik-baik saja sekarang.

Usaha memata-matai Jongdae di sekolah selalu gagal. Murid bernama Minki selalu melapor pada Jongdae bila ada wanita bergaun merah yang mengamati dirinya saat mengajar.

Karena hal itu akhirnya ia mendapat teguran dari Jongdae dan tidak diperbolehkan datang ke sekolah. Takut, Xiao pun tidak nekad untuk datang ke sekolah. Ini kali pertama Xiao mengurung niatnya.

"Aku mengerti bila seorang laki-laki dan perempuan terikat persahabatan, lalu salah satu dari mereka menyimpan rasa pasti ujungnya berantakan seperti Jongdae dan Sojung," pikir Xiao sambil mengamati kucing di teras.

Ia bersandar pada tembok sambil memandang kucing memakan ikan sarden pemberian Xiao. Setiap hari ia memikirkan cara agar Jongdae dan Sojung berbaikan. "Semua ini salahku," kata-kata ini terus berputar di kepala Xiao.

Xiao menekuk kakinya. Dagunya bersandar di atas dengkulnya. Memejamkan mata mengingat pertengkaran mereka karena dirinya, dan tidak ada hasil apa pun. Bertanya pada Suho juga tidak peduli karena Suho tidak peduli.

"Aku ingin menemui Sojung tapi sepertinya bukan cara yang bagus." Xiao meremas ujung gaunnya. "Aku juga terlalu takut untuk menemuinya, bagimana ini?"

"Disaat seperti ini aku butuh penasihat ku!" teriak Xiao kesal.

Jongdae berlari menuju ruang guru seperti orang gila. Ia menabrak murid-murid yang berjalan menuju kelas mereka. Berulang kali kata maaf keluar dari mulutnya.

Sebenarnya ia tidak tahu kenapa ia merada tidak ingin kalah dari Sojung. Ia tidak tahu kenapa ia masih melakukannya. Memaksakan diri bangun pagi tanpa secuil sarapan, bahkan rela tidur awal untuk bangun pagi.

Ia merasa seperti ini setelah melihat sorot mata wanita itu. Sorot mata memulai peperangan. Entah mengapa darahnya mengalir derasnya begitu matanya saling bertemu.

Sampai di ruang guru, Jongdae berhenti berlari. Ia berdiri dengan tatapan tak percaya setelah menggeser pintu.

Sojung sudah absen duluan.

Kalah. Jongdae merasa kalah. Ia berjalan dengan cool-nya. Berdiri di belakang Sojung bersiap untuk absen. Canggung.

Keringat dingin mulai bercucuran. Telapak tangan Jongdae mulai basah. Ia tidak tahu harus bagaimana. Ia pasti terlihat bodoh ketika berlari. Jongdae mengamati Sojung yang hendak absen. Astaga lama sekali!, keluh Jongdae yang dilihatnya Sojung tidak juga minggir.

Sojung hanya diam. Tangannya terus memegang kertas absennya. Ingin rasanya Jongdae mendorong tubuh Sojung untuk minggir. Semua ini telah di rencanakan Sojung untuk mengulur waktu-Jongdae absen.

Ingin berkata minggir tapi aku tidak mau memulai pembicaraan dengannya, batin Jongdae mengepal tangannya kuat-kuat. Ia menahan mulutnya untuk tidak mengeluarkan suara. Namun tidak ada pilihan lain.

"Bisa kau──"

bip!

Sojung berbalik setelah absen. Mengembalikan kertas absen pada tempatnya. Mata Jongdae mengikuti arah Sojung berjalan.

Sojung menghentikan langkahnya. "Tidak mau kalah ya?" bisiknya.

Jakun Jongdae naik-turun mendengar bisikan Sojung. Jadi semua ini sudah di rencanakan olehnya. Bersaing? Itu kekanakan! Lagi pula Jongdae juga mau-mau saja mengikuti cara bermain Sojung.

"Huh, aku sama sekali tidak ada ide!"

Xiao berguling kesana-kemari. Otaknya benar-benar tidak bisa diandalkan. Sejak ia menjadi hantu otaknya terkadang tidak beres. Mungkin karena ia tidak makan dan minum sejak menjadi hantu.

Ia berhenti berguling. Seketika matanya tertuju pada lampu di langit-langit. Nafasnya tidak beraturan. Ia bisa tenang sekarang, berkat lampu di atas.

"Aku punya ide!" dengan cepat Xiao bangun menegakkan tubuh-jari telunjuknya mengacung ke atas.

"Aku bisa bertanya pada Minki!" seru Xiao gembira. Ia melompat-lompat kesenangan. 2 jam telah dilalui akhirnya ide pun muncul.

Xiao bergegas mencari baju, jaket hitam, dan celana hitam yang dikenakannya saat keluar malam dengan Jongdae beberapa hari lalu.

Segera ia kenakan pakaian tersebut begitu menemukannya. Dengan topi sebagai penutup kepala, Xiao pun menampakkan dirinya. Tenaga yang telah di simpannya, hari ini ia gunakan untuk mencari tahu apa yang dapat ia lakukan untuk merujuk Jongdae dan Sojung.

➖➖➖







update setiap Minggu

ghost contract ─ chen × xiao ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang