BERPERANG SECARA RAHASIA

2.9K 572 49
                                    

Antrian panjang memenuhi tempat pembelian tiket masuk di salah satu bioskop. Anjani begitu sabar ikut mengantri, genggaman tangan Bima pun, tak pernah lepas dari jari-jemarinya yang lentik.

"Honey, aku cape," keluh Anjani manja bergelayut di lengannya.

"Kamu duduk dulu di sana, biar aku yang mengantri," tunjuk Bima ke sebuah kursi tunggu.

Anjani melihat sekitarnya, banyak mata haus memandang Bima memuja. Anjani pun memutar bola matanya jengah.

"Nggak mau!!!" tolak Anjani mengeratkan gandengan di lengan Bima posesif.

"Loh, katanya cape? Entar makin cape loh, kalau berdiri terus. Masih banyak tuh antriannya." Bima menunjuk ke depan, memang benar, antriannya masih lumayan panjang.

"Nanti kamu digodain cabe-cabean goceng gimana? Lihat tuh, mata mereka jelalatan dari tadi lihatin kamu." Anjani menyandarkan kepalanya manja di bahu Bima.

Bima menyapu pandangannya, banyak senyuman dari beberapa wanita menggodanya. Dia pun terkekeh kecil, menyadari betapa pencemburunya kekasihnya itu.

"Astaga Sayang, kamu ini! Posesif banget sih? Kamu tahu aku kan? Aku nggak mungkin memandang mereka, karena cuma kamu yang selalu ada di mataku. Walaupun aku memandang banyak wanita dan secantik apa pun dia, tetap saja kamu yang selalu terlihat di mataku" rayu Bima agar Anjani tak ngambek.

"Ah, kamu bisa aja!" Anjani memukul lengan Bima malu-malu kucing. "Jangan begitu aku malu," rengeknya manja.

Anjani yang sedang tersipu malu, menyembunyikan pipi merahnya di balik punggung Bima. Bima pun justru tertawa senang, melihat pipi merona kekasihnya. Antrian semakin mendekati giliran mereka. Setelah beberapa menit menunggu, akhirnya mereka pun dapat duduk di ruang yang gelap, menghadap ke layar yang super besar. Ada beberapa tingkat kursi di sana, mereka mendapat tempat di tengah-tengah.

"Ini, pop corn-nya." Anjani memberikan satu wadah pop corn untuk Bima, setelah mereka duduk.

Sekian menit menunggu, akhirnya film pun di putar. Anjani bersandar manja di bahu Bima, memerhatikan layar yang memperlihatkan adegan terbunuhnya seorang pria, dan seorang wanita yang sepertinya itu kekasihnya menangis histeris di samping tubuh pria tadi yang sudah berlumur darah terkulai lemas di tanah. Air mata Anjani menetes membasahi bahu Bima.

"Filmnya bikin baper," lirih Anjani menyeka air matanya dengan tisu dan menyedot ingusnya.

Bima mengelus kepala Anjani dan mendekapnya, menyandarkan kepalanya di dada bidang nan berototnya.

"Honey, kalau aku di posisi cewek itu, apa yang akan kamu lakukan?" tanya Anjani sesenggukan.

"Jangan bicara seperti itu. Itu nggak akan mungkin terjadi sama kita, Sayang. Kan itu cuma film. Dan ngapain juga orang mau bunuh aku? Memangnya aku penjahat? Perampok? Atau mafia? Aku kan kerjanya jelas, dan usaha aku juga legal, bayar pajak teratur, usaha dilindungi negara. Apanya yang harus ditakutkan?" jelas Bima, biar pun di dalam batinnya dia juga memiliki perasaan takut yang sama, seperti Anjani.

Tak bisa Bima bayangkan jika itu terjadi di antara mereka. Bagaimana nanti nasib Anjani? Dan siapa yang akan melindungi gadisnya itu, jika dia tiada? Seketika rasa takut akan kehilangan Anjani pun, menjalar merasuki keseluruh tubuhnya.

"Ya kan, namanya rekan bisnis nggak semua baik, Honey? Kalau mereka jahat sama kamu gimana? Aku nggak bisa melihat kamu kesakitan, apalagi sampai terbunuh seperti di film itu. Aku takut, Honey." Anjani memeluk erat Bima dan menangis hingga sesenggukan.

Bima pun menghela napasnya yang terasa sesak, kalau boleh jujur, dia pun juga takut, apabila tidak selamat dalam menjalankan misinya. Karena pekerjaannya yang benar-benar bermain dengan nyawa dan keselamatan.

GERILYA KLANDESTIN  (Sudah Dibukukan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang