Bima dan tim sudah dapat sedikit bernapas lega, karena masalah teroris dan penjualan gelap narkoba sudah teratasi. Sekarang mereka sedang menunggu misi baru dari atasan.
"Honey." Suara gadis manja memenuhi ruang kerja direktur utama di sebuah perusahaan tekstil ternama di negara ini.
"Hay," sahut Bima, menegapkan tubuh gagahnya. Dia begitu tampan dengan dandanan rapi ala pengusaha muda.
Anjani berjalan menghampirinya, lalu duduk di pangkuan Bima. Dengan manjanya, gadis itu bergelayut di dada bidang pujaan hatinya.
"Cacing di perutku sudah protes meminta makan. Apa kamu mendengarnya?" Anjani berkata manja, membuat hati Bima tak dapat menolak setiap permintaannya.
"Baiklah Nona Anjani. Mari kita beri makan cacing-cacing yang ada di dalam perutmu itu." Bima menurunkan Anjani dari pangkuannya, lantas dia mengenakan jas hitam yang tersampir pada sandaran kursi kebesarannya.
"Mister Bima," panggil Anjani saat dia berjalan mendahuluinya.
"Iya." Bima memutar tubuhnya melihat Anjani masih diam mematung di tempatnya.
"Gendong," pintanya manja membuat Bina tersenyum sangat manis.
"Manja!" Bima mencolek hidung Anjani pelan, lalu merangkulnya agar mau berjalan keluar dari ruangannya.
Dengan wajah cemberut Anjani mengikuti kekasihnya keluar dari ruangan kerjanya. Bima bisa saja menuruti permintaan kekasihnya yang sangat manja itu, namun dia masih menjaga etika dan menjaga image-nya sebagai atasan di kantor itu.
"Mau makan di mana kita?" tanya Anjani setelah mereka berada di dalam mobil.
"Mmm... di mana ya?" sahut Bima berpikir.
Saat Bima ingin menjawab, deringan ponsel canggihnya bersuara. Tak ingin membuatnya menunggu lama, dia pun segera menjawab panggilan itu.
"Sebentar ya, Sayang. Telepon penting." Bima keluar dari mobil, membiarkan Anjani menunggu.
Anjani begitu sebal menatap Bima dari dalam mobil. Beberapa menit berlalu, Bima pun kembali masuk ke dalam mobil, melihat Anjani sudah melipat kedua tangannya di dada, wajah kesal menghiasi kecantikannya.
"Aku tahu kamu mau pergi lagi sama urusan kamu yang nggak jelas itu kan?" Anjani sudah hafal dan dapat menebaknya, sebelum Bima menjelaskan.
"Maaf sayang, aku nggak bisa menolak, jika sudah menyangkut bisnis. Kamu tahu sendiri, bisnis di perusahaan aku ini berpengaruh besar dengan pendapatan negara. Please ... ngertiin aku ya?" Bima berusaha membujuk Anjani agar tidak marah.
"Terserah kamu!!!" Anjani keluar dari mobil begitu saja membawa perasaan yang dongkol, dan menutup pintunya sangat keras.
Tak ada waktu lagi untuk Bima mengejar Anjani, karena dirinya sedang ditunggu seseorang di suatu tempat. Bima mengacak rambutnya frustrasi dan berusaha mengenyampingkan urusan pribadinya.
"Maafkan aku Sayang, kamu nggak akan mengerti dan paham dengan pekerjaanku ini. Semoga kamu nggak berlarut-larut marahnya." Bima melajukan mobilnya ke suatu tempat tersembunyi dan hanya orang tertentu yang mengetahui dan dapat masuk ke tempat itu.
Mobil Bima berhenti di depan pagar yang menjulang tinggi di tutup oleh rimbunnya pohon bambu, seolah menyembunyikan gedung-gedung perkantoran yang ada di dalamnya. Tempat itu dikelilingi pagar besi yang membatasi jalan umum dengan jalan lingkungan kantor. Tak sembarang orang dapat melalui gerbang besi itu.
"Selamat siang, kartu identitas?" tanya seorang garda, petugas keamanan internal, saat Bima melewati akses utama untuk masuk ke lingkungan compound atau ke dalam area perkantoran tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
GERILYA KLANDESTIN (Sudah Dibukukan)
Misteri / ThrillerKetika cinta terjebak dalam misi rahasia. Dendam, cinta dan tugas negara. Paling sulit memilih salah satu di antara ketiga hal tersebut. Apa pun hal, yang melibatkan perasaan, apalagi itu cinta, sangat sulit untuk dipilih. Hal mana yang akan diperta...