TERCENGANG

2.1K 543 40
                                    

Semalaman Bima dirawat di sebuah kamar yang luas dan megah. Penjagaan rumah itu sangat ketat, karena diketahui bahwa pemiliknya seseorang yang sangat terkenal dengan berbagai bisnis legalnya yang sukses. Tidak hanya itu, Juwanita juga salah satu pengusaha yang diberikan penjagaan khusus dari negara atas kasus yang sedang dia tangani bersama tim rahasia negara.

Bima perlahan mengerjapkan matanya. Kepalanya masih sedikit pusing dan selang infus juga menancap di lengan kanannya. Mata Bima perlahan mulai terang, menyesuaikan cahaya yang masuk ke dalam kornea matanya. Sambil mengerjap, ia memandangi sekelilingnya dan tak sengaja mata itu menatap tubuh mungil yang membelakangi dirinya sedang berganti pakaian. Sesaat ia menelan salivanya dan kembali memejamkan mata.

Untuk sekian menit, Bima masih bertahan dengan mata terpejam, ia tak ingin jika nanti membuka mata, justru dihadapkan pada tontonan yang lebih dari itu. Dalam benaknya ia terus bertanya, sedang di mana dirinya sekarang? Tempat yang asing, bahkan ini bukan kamar miliknya.

Perlahan Bima kembali membuka matanya, namun ia terlonjak saat mendapati wajah seorang wanita yang sangat dekat dengannya.

"Maaf," ucap wanita itu. "Lo sudah sadar? Masih pusing kepalanya?" tanyanya.

Bukannya menjawab, Bima justru terdiam memerhatikan lekuk wajah cantik wanita itu. Wanita yang selama ini dicari dan sangat dia rindukan kehadirannya.

"Nama gue Queen, gue minta maaf sudah nabrak lo. Salah lo juga menyeberang sembarangan. Untung nggak ada yang parah."

Bima tetap diam seribu bahasa, bibirnya kelu, tubuhnya kaku, ia hanya terus memerhatikan Gadis yang seharusnya bisa mengenalinya.

"Gadis ini mirip sekali dengan Anjani, tapi namanya berbeda dan dia tidak mengenaliku?" guman Bima kecil hingga Gadis tidak mendengar bisikannya.

"Hey, lo nggak amnesia kan gara-gara gue tabrak?" Gadis mengibas-ngibaskan tangannya di depan wajah Bima.

"Eh iya, gue nggak apa-apa, makasih udah nolong gue. Tapi boleh gue istirahat sedikit lebih lama, kepala gue masih pusing," ucap Bima yang tak lepas memandangi Gadis.

"Silakan saja, lo bisa pakai kamar ini buat istirahat. Kalau boleh gue tahu siapa nama lo?" Gadis mengulurkan tangannya.

Bima terus menatap matanya, dia sangat mengenali kornea mata itu. Hazel-nya tidak pernah dilupakan. Warna mata merah kecoklatan yang selalu terngiang di setiap benaknya. Gadis membalas tatapan mata Bima. Dia seperti sudah mengenalnya lama, tapi rasanya baru kali pertama dia melihat wajah Bima. Gadis mengernyitkan dahinya bingung, kepalanya pusing. Semakin dalam dia menatap mata Bima, seolah hatinya seperti diaduk-aduk dan dia merasa seperti sudah sangat dekat dengan pria yang sebenarnya hati saling terikat namun memori menjadi benteng pemisah. Beberapa menit pandangan mereka terkunci.

Bima terus meneliti setiap inci wajah Gadis. Dia yakin itu adalah Anjani-nya. Tapi kenapa dia tidak mengingatnya? Hati Bima teriris perih. Dia membalas uluran tangan Gadis.

"Gu...gu...gue Bima," ucap Bima terbata. 'Yang pernah sangat mencintai kamu sampai saat ini, Anjani,' tambah Bima di hatinya terasa sangat nyeri.

Hati Bima sudah menangis pedih dilupakan seseorang yang sangat berarti dan dia cari-cari selama ini. Menerima hal itu adalah sesuatu yang sulit dan sangat berat.

"Yaudah, gue keluar dulu. Lo istirahat aja, nanti gue balik lagi." Gadis meninggalkan Bima dengan puluhan pertanyaan yang ingin sekali Bima tanyakan padanya.

Saat Gadis menuruni tangga, Ali sudah menghadangnya dan memberondongnya dengan berbagai pertanyaan.

"Gimana keadaan dia? Udah suruh pulang aja, lo nggak dituntut kan sama dia? Lo nggak diapa-apain kan sama dia?" tanya Ali mengecek keadaan Gadis dari ujung kaki sampai ujung kepala.

"Li, kenapa sih lo?" tanya Gadis bingung menyingkirkan tangan Ali yang memegang bahunya.

Sejujurnya Ali tahu siapa sebenarnya laki-laki yang ada dikamar Gadis. Bahkan Ali yang sangat khawatir jika terjadi sesuatu padanya. Hanya saja Ali belum ingin memberitahukan apa yang terjadi sebenarnya pada Gadis. Dia masih takut jika sampai Gadis ingat siapa Bima.

"Sorry, aku cuma khawatir takut kalau dia orang jahat," ucap Ali menunduk tidak berani menatap mata Gadis.

Gadis menepuk-nepuk bahu Ali dan mengajaknya ke ruang makan.

"Lo terlalu posesif, Li. Sudah kita sarapan dulu terus berangkat ke kantor. Ada proyek besar hari ini, salah satu hotel berbintang yang baru buka butuh furnitur. Dia mempercayakan Queen Furniture untuk mengisi seluruh kamar dan semua kebutuhan di dalamnya. Lumayan kan kita bisa ambil barang-barang dari tempat produksi Pak Presiden." Gadis menaik turunkan kedua alisnya yang tertata rajin sembari tersenyum manis.

"Iya, iya," sahut Ali lemas paham maksud Gadis.

Berbagai bisnis Juwanita berdiri dengan nama PT berbeda sesuai bidangnya. Kehadiran Gadis membuat pekerjaannya lebih ringan, ternyata biarpun memori masa lalunya terhapus tapi keahlian bisnis yang diwariskan Juwanita dan Luky melekat kental mendarah daging di tubuh Gadis.

"Mbak!" panggil Gadis.

"Iya, Non." Seorang pelayan menghampiri sedikit membungkukkan tubuhnya.

"Tolong siapkan sarapan di nampan dan jus buah ya? Biar nanti aku bawa ke kamar," perintah Gadis sopan.

"Baik, Non," sahut pelayan patuh lantas berlalu menjalankan perintah Gadis.

Ali menatapnya tidak suka, hatinya panas tapi dia hanya bisa diam.


Bima tidak bisa memejamkan matanya kembali. Pikirannya masih tertuju pada gadis yang membuatnya bahagia sekaligus bingung. Bagaimana tidak? Seharusnya mereka saling melepas rindu mengingat terakhir kali mereka bertemu saat Anjani mengatakan kata cinta melalui diri Gadis.

"Aku nggak tahu harus bahagia atau sedih. Aku rindu kamu Anjani, aku ingin sekali memelukmu. Usahaku selama ini membuahkan hasil walaupun hasil yang tidak begitu aku harapkan. Ada apa denganmu? Kenapa kamu sama sekali seperti tidak mengenaliku, Anjani." Bima mengusap wajahnya kasar.

Bima menoleh saat seseorang membuka pintu perlahan.

"Maaf, gue pikir lo tidur makanya buka pintunya pelan-pelan. Ini sarapan buat lo. Mumpung masih hangat lo makan dulu." Gadis meletakkan nampan yang berisi makanan di atas nakas.

"Makasih," ucap Bima lirih.

"Lo masih lemes? Kalau masih ada yang sakit gue bisa panggilin dokter buat periksa lo." Gadis terlihat sedikit cemas.

"Gue nggak apa-apa. Gue mau nanya sesuatu, boleh?" Bima sedikit ragu tapi dalam hati dia sudah sangat penasaran.

"Tanya apa? Silakan." Gadis berdiri di samping tempat tidur melipat kedua tangannya di depan dada.

"Mmm... lo apa sudah lama tinggal di sini?" tanya Bima.

"Ya lamalah dari gue kecil, ini kan rumah orang tua gue, gimana sih lo." Ada nada sedikit kesal di dalam jawaban Gadis.

'Apa mungkin dia dan Anjani orang yang berbeda?' Bima mencoba mencari tahu kebenarannya.

"Sudahlah, lo nggak usah banyak bicara dulu. Ini dimakan nanti keburu dingin. Gue pergi dulu, gue harus kerja. Kalau lo perlu apa-apa lo tinggal telepon ke bawah, nanti Asisten Rumah Tangga gue bakalan bantuin lo." Gadis meraih tas yang biasanya dibawa kerja.

"Iya, terima kasih," balas Bima.

"Ya, lo juga hati-hati di rumah, jangan sungkan buat minta tolong."

Bima hanya bisa memerhatikan punggung Gadis yang menghilang dari balik pintu. Rasanya perih saat hati ingin memeluk tapi hati yang lainnya menghindari. Entah takdir Tuhan seperti apa yang sedang terjadi dalam hidupnya. Setidaknya ia masih bisa bersyukur atas takdir yang mempertemukannya kembali, walaupun dalam kondisi yang berbeda.

########

Ebie

Sabar ya Bim? Ini ujian. Hahaha

GERILYA KLANDESTIN  (Sudah Dibukukan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang