7. Utusan Siluman Tujuh Nyawa

8.2K 72 4
                                    

SEBELUM berangkat ke Puri Gerbang Surgawi, tempat kediaman Nyai Gusti Dyah Sariningrum yang menjadi kekasih idaman Suto, Pendekar Mabuk murid si Gila Tuak itu menyempatkan diri untuk singgah ke Jurang Lindu. Kali ini ia terpaksa tidak bisa meninggalkan Dewa Racun, orang kepercayaan Nyai Gusti Dyah Sariningrum yang ditugaskan menjemput dan mengawal Suto Sinting. Tetapi, Dewa Racun agaknya tahu diri dalam hal ini.

"Tem... tem... temuilah gurumu, akkk... akkk... aku akan menunggu di luar gua. Aaakk... aku tidak perlu ikut masuk!"
"Baiklah. Aku tak lama!"

Suto cepat tinggalkan orang kerdil berpakaian putih- putih dari jenis kulit binatang berbulu itu. Curahan air
terjun yang deras ditembusnya masuk dengan satu kelebatan secepat kilat. Jraasss...!

Mulut gua yang ada di balik curahan deras air terjun itu dipakai mendarat sepasang kaki Pendekar Mabuk yang kokoh. Jika bukan orang berilmu tinggi, tak mungkin bisa menerabas tembus curahan air sebegitu besarnya dari jarak lompat lebih delapan belas langkah. Apalagi tanah di mulut gua itu licin oleh lumut, sudah pasti akan membuat orang yang tidak mempunyai ilmu peringan tubuh akan tergelincir.

"Sudah kau selesaikan urusanmu, Suto?!"

Kehadiran Suto disambut oleh seorang berpakaian serba hijau yang tidak mengenakan jubah. Jubah kuningnya itu tampak digantungkan pada salah satu sisi dinding gua. Orang tua berambut panjang beruban itu tak lain adalah si Gila Tuak, guru Suto Sinting.

"Maksud Guru, urusan yang mana?" Suto ganti bertanya sambil langkahkan kaki mendekati gentong tuak.
"Pertarunganmu dengan Manusia Sontoloyo apa sudah kau selesaikan?"
"Sudah, Guru!"

"Bagus. Sebab, menang atau kalah sebuah pertarungan tak boleh ditolak oleh seorang pendekar. Dengan cara licik atau ksatria, janji pertarungan tanding laga tetap harus dilaksanakan!"

"Saya paham, Guru!"

Tak jauh dari gentong-gentong tuak itu, seorang perempuan cantik yang anggun dan bijaksana duduk memandangi Suto. Perempuan yang mengenakan pakaian biru muda dengan jubah tipis sutera warna kuning itu sunggingkan senyumnya saat Suto menuang tuak ke dalam bumbung sambil melirik kepadanya.

"Apakah Dirgo Mukti, si Manusia Sontoloyo itu tewas di tanganmu, Suto?" tanya perempuan itu yang tak lain adalah Betari Ayu.

"Tidak, ia dirobohkan oleh muridmu sendiri, Nyai Betari."
"Muridku?!" Betari Ayu berdiri dengan rasa kaget. "Muridku yang mana? Selendang Kubur?"
"Ya. Dia bergabung dengan Peri Malam dan Perawan Sesat."
"Bergabung dengan Perawan Sesat?! Aneh sekali!"

"Mereka bertiga yang memprakarsai pertarungan di Bukit Jagal. Mereka bertiga ingin membunuhku setelah terlebih dulu tenagaku dipancing agar terkuras dengan melawan Manusia Sontoloyo. Mereka berjanji kepada Manusia Sontoloyo akan sanggup menjadi istri si Sontoloyo itu, apabila Sontoloyo bisa mengalahkan aku! Seorang temanku mengetahui rencana itu, lalu kubuat kelicikan lain juga untuk menjebak mereka bertiga. Sontoloyo kubiarkan menang, tentu saja mereka bertiga jadi kelabakan dituntut janjinya oleh Sontoloyo. Akhirnya mereka bertiga yang bertarung melawan Sontoloyo!" (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Pertarungan di Bukit Jagal").

Si Gila Tuak perdengarkan tawanya yang mirip orang menggumam. Kemudian ia ajukan tanya, "Apakah
Sontoloyo menang?"

"Tidak, Kakek Guru!" jawab Suto sudah terbiasa memanggil gurunya dengan sebutan kakek, karena Suto diambil murid sejak berusia delapan tahun. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Bocah Tanpa Pusar").

Suto lanjutkan kata, "Dirgo Mukti atau si Manusia Sontoloyo itu terluka parah, nyaris mati di tangan tiga perempuan itu. Tapi Mawar Hitam datang dan segera mengambil tubuh Dirgo Mukti kemudian membawanya pergi ke Pulau Hantu."

Serial Pendekar Mabuk "Suto Sinting" - SuryadiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang