14. Pedang Guntur Biru

8.2K 84 2
                                    

PAKAIAN kuning gading membuat wajah cantiknya menjadi lebih anggun lagi. Dengan rambut dikepang satu ke belakang, senjata pedang masih terselip di pinggang, perempuan itu tetap berdiri tegak di depan orang berpakaian serba merah itu. Melihat sikap memandang yang dingin dan ketus dari perempuan berpakaian kuning dengan dirangkapi rompi panjang warna ungu itu, jelas ada permusuhan di antara mereka berdua. Itulah sebabnya ia tetap berdiri tegak di depan pintu masuk sebuah kuil yang berpagar batu tinggi.

"Sekalipun kau kakak perguruanku, tapi aku tetap tak bisa izinkan kau masuk kuil ini, Barong Geni!" kata perempuan itu dengan tegas dan berkesan berani.

Barong Geni yang berpakaian serba merah sampai pada ikat kepalanya juga merah itu, sengaja sunggingkan senyum sinis kepada bekas adik seperguruannya yang bernama Intan Selaksa. Kumisnya yang sedikit lebat itu diusap-usap dengan jari, kadang dipelintir agar melengkung kedua ujungnya. Barong Geni segera serukan kata,

"Kita mempunyai hak yang sama untuk menempati kuil ini, Intan Selaksa! Jangan kau tampakkan sikap serakahmu di depanku! Kau bisa menyesal kalau sampai aku bertindak kasar kepadamu!"

"Memang kita dulu bekas saudara seperguruan, kita memang sama-sama murid Begawan Sangga Mega yang sudah almarhum itu. Tetapi kau sudah diusir dari kuil ini! Kau telah menjadi murid murtad dan tidak diizinkan menginjak kuil ini lagi oleh sang Begawan!"

"Itu dulu, semasa Guru masih hidup!" sanggah Barong Geni.

"Sekarang pun larangan itu tetap berlaku, Barong Geni! Sebelum Guru wafat, beliau pernah berpesan agar akulah orang yang harus menjadi penjaga kuil ini, dan melarangmu menginjakkan kaki di kuil ini! Jadi kusarankan padamu, Barong Geni, sebaiknya cepatlah angkat kakimu dari tanah Kuil Swanalingga ini, supaya arwah Guru tidak murka kepadamu!"

Mata lebar berwajah angker dengan badan yang besar itu cepat menggeramkan suaranya pertanda menahan kemarahan. Rambut ikalnya yang dibungkus kain merah sebagian itu dibiarkan terhempas angin pegunungan yang semilir. Perutnya yang buncit dengan baju tidak dikancingkan sengaja dipamerkan sebagai umpan pukulan nantinya.

Barong Geni punya keyakinan, bahwa hari itu ia harus bertarung dengan Intan Selaksa. Agaknya Intan Selaksa tak bisa diajak damai untuk urusan ini. Barong Geni merasa diremehkan oleh larangan Intan Selaksa itu. Maka, segera ia lontarkan kata yang lebih bernada bermusuhan lagi kepada Intan Selaksa,

"Aku tak bermaksud bermusuhan denganmu, Intan Selaksa. Tapi kalau kau merasa sudah bosan menikmati hidupmu ini, aku juga tidak keberatan jika harus melenyapkan nyawamu!"

Intan Selaksa sunggingkan senyum tipis tanda mengejek ucapan itu. Bahkan ia berkata dengan ketusnya,

"Demi mematuhi perintah wasiat Guru, nyawaku sudah siap kujadikan perisai, Barong Geni! Akan kulayani jika kau ingin bertingkah di depanku! Tak mungkin aku gentar menghadapimu, Barong Geni!"

"Perempuan Sombong!" geram Barong Geni sambil melepaskan tangannya yang sejak tadi melintir kumis. "Tingkat ilmumu belum seberapa tapi sudah berani berkoar seperti itu di depan Barong Geni! Majulah, jika kau ingin cepat menuju alam akhirat! Majulah...!"

Sambil lontarkan tantangan, Barong Geni mulai pasang kuda-kuda dan angkat kedua tangannya di pertengahan dada, yang satu diangkat sampai di atas kepala, ia siap melancarkan pukulannya begitu Intan Selaksa sedikit saja bergerak mencurigakan. Matanya pun makin memancar tajam dan penuh kobaran api permusuhan.

Tetapi, Intan Selaksa masih tetap diam dengan berdiri merenggang kaki. Kedua tangannya disangkutkan pada ikat pinggang di depan perutnya. Wajah ayunya memamerkan senyum berlesung pipit yang semakin membuatnya manis. Tapi kali ini senyum manis itu tetap berkesan pahit, karena mata Intan Selaksa tak mau pancarkan keteduhan.

Serial Pendekar Mabuk "Suto Sinting" - SuryadiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang