KEGELAPAN malam bagaikan selubung kematian warna hitam. Sekalipun langit cerah berbintang tanpa rembulan, tapi tak sedikit pun bias sinar cerah ada yang menerangi jalanan di ujung jembatan bambu. Jembatan itulah yang menghubungkan Tanah Merah dengan Lembah Kabut.
Rindangnya dedaunan di sekitar Jembatan bambu itu yang membuat kadang sinar rembulan pun tak bisa menerobos masuk untuk menyinari jalanan penghubung itu. Sementara mereka yang akan melintas dari Tanah Merah ke Lembah Kabut tak punya pilihan lain kecuali melewati jalanan tersebut.
Karena di bawah Jembatan bambu yang sering berderit reot jika terkena angin kencang itu adalah jurang yang amat dalam dan tak mungkin bisa dilalui orang. Tetapi sudah tiga malam ini di ujung jembatan nyala api lentera yang cukup menerangi keadaan sekitarnya. Memang tak bisa sampai ke seberang jembatan bias sinar lentera itu, tapi setidaknya bisa digunakan pemandu langkah sebelum memasuki jembatan bambu.
Seorang berpakaian putih bersama kedua temannya ingin menyeberangi jembatan tersebut. Meraka dari Lembah Kabut menuju Tanah Merah. Orang berpakaian putih itu berkata kepada kedua temannya.
Ada lentera penerang jalan! Lumayan bisa kita bawa sampai ke ujung jembatan, lalu kita tinggalkan di ujung sana, biar orang dari sana nanti membawanya kembali dan meninggalkan di sini!.
"Ambillah! Memang sangat beruntung membawa lentera melintasi jembatan. Setidaknya kaki kita tidak salah langkah masuk ke jurang sedalam itu!"
Orang berpakaian putih itu mengambil lentera dan menentengnya sambil melangkah menyeberangi jembatan. Dua temannya mengikuti dari belakang. Langkah mereka sangat lancar karena penerangan itu. Sekalipun jembatan bergoyang-goyang tapi langkah mereka menapak dengan pasti. Dan ketika mereka sampai di seberang jembatan, lentera itu diletakkan pada sebuah batu, biar dipakai menyeberang oleh orang lain yang mau menuju ke Lembah Kabut.Namun tiga langkah setelah itu, orang berbaju putih tiba-tiba jatuh, Brukk...! Ia mengerang sebentar. Temannya menolong, yang berbaju kuning mengangkat kepala orang yang jatuh, yang berbaju hijau menarik lengannya.
Tetapi si baju putih tiba-tiba mengejang dan berkeringat sekujur tubuhnya . Kejap berikutnya si baju putih itu pun tersentak, napasnya tertahan. lalu menghembus lepas dan tak bergerak lagi. "Wirya...! Wiiir....!" temannya yang berbaju kuning menepuk-nepuk pipi si baju putih itu. "Ya, ampuuun... dia mati, Kas!"
"Pasti ada orang yang menyerangnya dengan senjata rahasia! " kata Kasmo, yang berbaju hijau itu. "Coba periksa seluruh tubuhnya, Rantu!"
Segera yang berbaju kuning bernama Rantu itu, memeriksa bagian punggung Wirya. Ternyata tak ada luka seujung jarum pun. Juga di bagian sekitar tengkuk, leber, lengan, kaki, tak ada luka bekas tusukan atau goresan senjata rahasia.
Hanya saja, Kasmo dan Rantu menjadi heran melihat keringat Wirya begitu banyak dan berbau amis, seperti amisnya darah. "Apa dia kena sambet penunggu jembatan itu ya,Kas?"
"Kurasa... Uhg...! Uuhg...!"
"Kas...! Kasmo....?!"
Kasmo mendelik, ingin mengucapkan sesuatu tak bisa. Tubuhnya kejang seketika, lalu ia rubuh dalam keadaan kaku. Matanya terbeliak, tubuhnya berkeringat, makin lama semakin banyak keringat yang mengucur dari tubuhnya. Kejap berikutnya, Kasmo pun menghembuskan napas terakhirnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Serial Pendekar Mabuk "Suto Sinting" - Suryadi
General FictionPendekar Mabuk adalah seorang pemuda tanpa pusar yang merupakan murid dari 2 orang tokoh teratas di dalam dunia persilatan saat itu. Kedua tokoh yang merupakan guru dari Suto Sinting (Pendekar Mabuk) tersebut adalah "Ki Sabhawana (Gila Tuak) & Nawan...