26. Ratu Tanpa Tapak

7.5K 84 1
                                    

OMBAK bergulung-gulung melemparkan riak ke pantai. Cuaca cerah. Langit jernih. Matahari baru beberapa saat muncul dari peraduannya. Udara segar enak untuk berlatih pernapasan. Dan di atas sebongkah batu karang runcing, duduklah seorang lelaki bersila tanpa kenakan baju.

Batu karang itu benar-benar runcing. Bahkan runcing sekali. Tapi lelaki itu duduk bersila di atasnya dengan tenang dan tidak merasa kesakitan. Yang jelas siapa pun akan kagum melihat pria tampan itu mampu duduk di atas sebuah keruncingan.

Badannya yang tidak berbaju tampak kekar. Berkilauan karena dipanggang panas matahari pagi. Dadanya tegak. Wajahnya memandang lurus ke cakrawala. Kedua tangannya ada di samping. Lemas tanpa kekerasan otot apa pun. Dada bidang itu tampak kekar. Bergerak naik turun dengan teratur. Rambutnya yang panjang tak diikat meriap-riap dipermainkan angin.

Lelaki tampan itu bukan tak punya baju. Ternyata ia memang sengaja melepas bajunya. Baju itu ditaruh di bebatuan pantai. Di samping baju ada bambu tempat tuak.

Warna bambunya coklat muda, sedangkan warna bajunya coklat tua gelap. Celana yang dikenakan berwarna putih. Jelas itu ciri-ciri si Pendekar Mabuk. Apakah karena mabuk dia duduk di atas keruncingan yang tajam? .

O, tidak! Dia sengaja duduk di keruncingan yang tajam untuk melatih ilmu peringan tubuhnya. Kalau dia tak memiliki ilmu peringan tubuh yang tinggi, sudah pasti pantatnya akan tertusuk oleh ujung batu karang runcing itu.

Para tokoh berilmu tinggi tahu persis hal itu, dan pasti akan mengatakan bahwa si Pendekar Mabuk punya ilmu peringan tubuh yang tinggi, hampir mendekati sempurna.

Perlahan-lahan badan Pendekar Mabuk bergerak. Bukan miring ke kiri atau ke kanan, melainkan naik ke atas. Hebat sekali. Dalam keadaan tetap duduk tubuh itu bisa bergerak naik pelan-pelan. Sekarang pantatnya tidak menyentuh ujung runcing itu. Tapi mengambang.

Jaraknya sedikit sekali. Kira-kira setinggi separuh batang korek api. Tapi semakin lama, semakin jauh jarak itu. Sekarang malah ukuran jarak pantat dengan ujung batu karang ada sejengkal. Itu yang dinamakan ilmu 'Layang Raga', yaitu ilmu peringan tubuh yang bisa mengangkat tubuh menjadi tetap di tempat tanpa tumpuan apa pun.

Ilmu 'Layang Raga' dilatih sejak lama. Kian hari kian mencapai tingkatan tinggi. Lihat saja, sekarang Pendekar Mabuk bisa mengambang di udara dalam jarak satu hasta dari tempat duduknya. Padahal ia tetap duduk bersila dengan urat-urat dilemaskan.

Seolah-olah ia bisa duduk di udara lepas. Mengagumkan sekali ilmu itu. Tentunya tak mudah dimiliki sembarang orang. Latihannya dilakukan sejak Pendekar Mabuk masih berusia lima belas tahun. Sekarang usianya sudah dua puluh dua tahun. Bayangkan, berapa lama ia berlatih ilmu 'Layang Raga' dengan tekun? Pantas kalau mencapai tingkatan yang tinggi.

Tubuh yang masih bersila itu bergerak turun secara pelan-pelan. Tak ada yang menarik, tak ada yang menekan. Dia turun sendiri. Sebab ilmu 'Layang Raga' adalah perpaduan kendali napas dan pemusatan pikiran yang terlatih. Kapan saja pikiran dan hatinya menyatu untuk menghendaki tubuh bergerak naik, maka sang tubuh pun bergerak naik. Jika menghendaki bergerak turun, ya akan turun dengan sendirinya.

Kalau ilmu itu sudah benar-benar dikuasai dan mencapai titik ketinggiannya, maka Pendekar Mabuk bisa naik-turun sendiri dalam kecepatan cukup tinggi. Tidak menutup kemungkinan ia akan bisa terbang. Tapi bukan terbang seperti burung. Melainkan berpindah tempat dengan cepat dalam keadaan duduk, jongkok, atau apa pun juga. Tentunya tak bisa jauh-jauh. Ada batasnya sendiri.

Ilmu itu memang mengagumkan. Buktinya bocah kecil yang sejak tadi memperhatikan dari tempat persembunyiannya sampai lupa menutup mulutnya yang terbengong melompong. Akibat lupa menutup mulut, seekor lalat masuk. Hab!

Serial Pendekar Mabuk "Suto Sinting" - SuryadiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang