DARI balik kerimbunan hutan berpohon rapat, terdengar suara jeritan yang panjang dan memilukan. Siapa yang menjerit, itu tak jelas. Yang pasti jeritan itu adalah jeritan kematian. Suaranya yang melengking menggema panjang itu bagaikan membangunkan setiap jasad yang sudah terkubur mati.
Sementara itu, hembusan angin cukup kencang dan menderu. Gumpalan awan hitam bergulung-gulung di langit, menyekap matahari, membuat alam terasa mati. Sesekali terdengar gelegar petir melecutkan lidahnya bagai ingin membelah langit.
Agaknya alam yang memberikan tanda-tanda bagai kiamat datang itu tak dihiraukan oleh tiga orang berusia sebaya itu. Satu di antaranya telah terkapar mati tanpa darah. Dua dari mereka masih melanjutkan pertarungannya dengan sengit.
Rupanya mereka bertarung di atas dataran berbatu rata. Dataran tersebut adalah lantai dari sebuah petilasan keraton yang telah hancur sekian puluh tahun yang lalu, bahkan mungkin sekian ratus tahun yang lalu. Sisa pilar- pilarnya masih tertinggal sebagian, namun tak ada yang utuh. Sisa dinding-dindingnya juga masih tertinggal sebagian, tak ada yang utuh sampai ke atap. Petilasan itu ibarat pohon tua yang sedang meranggas untuk menunggu tumbang.
Tak ada atap, tak ada pagar, tak ada pula ruangan. Reruntuhan itu hampir rata dengan tanahnya. Bongkahan batu bekas dinding dan pilar masih terlihat berserakan di sana-sini.
Salah satu dari dua orang yang bertarung di atas reruntuhan keraton itu tiba-tiba menghentikan serangannya. Orang itu memakai pakaian biru tua, berbadan sedikit gemuk, dan berkumis tebal, berusia sekitar lima puluh tahun. Matanya yang lebar memandang temannya yang telah tak bernyawa. Sebentar kemudian mata itu kembali menatap lawannya yang berbadan kurus, berwajah lonjong dengan dagu sedikit panjang. Orang yang berbaju biru tua itu berkata,
"Tega betul kau membunuh temanmu sendiri Tapak Getih!"
"Siapa pun yang menghalangi langkahku pasti kubunuh, Julung Boyo! Tak peduli dia teman sendiri, tak peduli orang lain. Tapak Getih pantang diganggu langkahnya!" kata orang kurus berwajah lonjong itu. Dia dikenal dengan nama Tapak Getih, karena setiap lawan yang terkena pukulan telapak tangannya, langsung mati tanpa memiliki darah setetes pun di dalam tubuhnya.
Tapak Getih yang mengenakan jubah merah dan pakaian dalam serba hitam itu berkata lagi kepada Julung Boyo.
"Sebab itu kuingatkan padamu, Julung Boyo.... Pergilah lekas dari hadapanku dan jangan memaksaku membunuhmu, seperti yang dialami oleh Cakar Macan itu!"
"Kau benar-benar manusia picik, Tapak Getih! Kau bujuk kami untuk menunjukkan tempat ini, sekarang kau mau bunuh kami di sini juga! Kau binatang dan aku binatang, tapi aku masih punya sisa jiwa manusia yang tak akan tega bertindak seperti dirimu, Tapak Getih!"
"Hem...!" Tapak Getih sunggingkan senyum tipis yang lebih berkesan sebagai hinaan. "Manusia-manusia bodoh itu adalah kau dan Cakar Macan, Julung Boyo! Sudah tahu aku berjiwa binatang yang keji, masih saja nekat mau menahan langkahku untuk mencari pintu masuk petilasan ini! Kalau aku menjadi kau, lebih baik aku pergi dan tak mau korbankan nyawa buat petilasan seperti ini!"
"Mulanya aku hanya ingin mencegahmu agar tidak diterkam maut yang ada di petilasan ini! Kau adalah sahabatku, dan juga sahabat si Cakar Macan. Sikap kami hanya semata-mata ingin melindungi seorang sahabat dari maut yang mengancam! Kami tahu, sudah dua orang hilang di sini dan tak pernah muncul lagi. Kami tak ingin kau menjadi seperti itu. Tapi rupanya mata hatimu buta, Tapak Getih! Dan sekarang sikapku bukan untuk melindungi kamu, tapi untuk membalas kematian si Cakar Macan!"
"Haii...! Saudara bukan, adik pun bukan, mengapa kau menjadi sebodoh itu, Julung Boyo! Hubungan kita bertiga hanya sebatas sahabat! Tak ada ikatan darah apa pun! Kenapa kau menuntut kematian si Cakar Macan?"
![](https://img.wattpad.com/cover/96773224-288-k706830.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Serial Pendekar Mabuk "Suto Sinting" - Suryadi
General FictionPendekar Mabuk adalah seorang pemuda tanpa pusar yang merupakan murid dari 2 orang tokoh teratas di dalam dunia persilatan saat itu. Kedua tokoh yang merupakan guru dari Suto Sinting (Pendekar Mabuk) tersebut adalah "Ki Sabhawana (Gila Tuak) & Nawan...