21. Titisan Ilmu Setan

7.7K 73 0
                                    

JERITAN yang melengking tinggi itu seakan menggema ke seluruh jagat raya. Begitu keras dan panjangnya, sehingga orang yang ada di balik bukit itu pun bisa tersentak mendengarnya. Begitu pula dengan seorang pemuda yang masih tergeletak malas, bangun dari pembaringannya di atas pohon. Pemuda itu terkejut ketika mendengar jeritan yang menandakan sebagai jerit kematian. Ia segera bangkit dari rebanannya, dan menempatkan bumbung tempat tuaknya ke punggung. Pemuda berbaju coklat tanpa lengan dan celana putih itu melompat turun dari atas pohon berketinggian tujuh tombak.

Jlegg...! Dengan ringannya kedua kaki kekar itu menapak di tanah perbukitan. Matanya yang berbentuk indah tapi punya ketajaman yang mempesona itu segera memandang ke arah barat. Dahinya berkerut sebentar pertanda merasa aneh dengan jeritan yang cepat lenyap dari pendengarannya itu.

Pemuda itu belum bergegas pergi. Ia masih memikirkan langkahnya untuk menengok ke arah barat, ke sumber jeritan tadi, atau membiarkannya saja. Yang jelas, pemuda itu kembali meneguk tuaknya dengan mendongakkan kepala, menuangkan tuak dari bumbungnya, dan menelan air tuak itu beberapa teguk.

Hanya satu orang yang punya kebiasaan meneguk tuak di sembarang tempat dan dalam suasana apa saja. Orang itu tak lain adalah Suto Sinting, murid si Gila Tuak, yang mempunyai gelar tak asing lagi, yaitu Pendekar Mabuk.

Apa yang terjadi di sebelah barat adalah sesuatu yang tak diduga-duga oleh setiap orang. Seorang gadis berusia sekitar dua puluh tujuh tahun, sedang berhadapan dengan seorang lelaki kurus, ceking, dan berkulit pucat. Wajahnya angker, matanya sipit tapi berkesan cekung dan bengis. Rambutnya panjang sebatas punggung, tapi tipis dan acak-acakan.

Lelaki itu mengenakan jubah abu-abu dan celana merah, sedangkan bagian dalamnya tidak mengenakan baju, sehingga tulang iganya terlihat bertonjolan, sebab jubahnya sendiri tidak menutup bagian dada dan perut. Laki-laki itu menggenggam sebuah senjata berupa kapak bergagang panjang warna merah, mempunyai dua sisi tajam di kanan-kirinya. Kedua kapak itu mempunyai ukuran lebar dan tipis. Pada sisi kedua mata kapak yang tajam itu berbentuk sedikit lengkung ke dalam, seakan pas untuk sebatang leher manusia.

Perempuan muda itu masih tegar berdiri di depan si lelaki lawannya. Ia mempunyai rambut panjang yang disanggul membentuk kucir besar dan dililiti kain pengikat mirip tali. Sisa rambutnya dibiarkan meriap ke samping kanan-kirinya. Ia mengenakan pakaian biru muda dengan sabuk merah di pinggangnya. Tempat pedang masih terselempang di punggungnya yang berkulit kuning langsat.

Di tanah sekitar mereka, sudah ada tiga mayat terkapar berlumur darah. Perempuan muda yang berparas cantik jelita itu, telah menumbangkan ketiga mayat tersebut dengan menggunakan sebilah pedang berujung runcing bagaikan pisau panjang. Pedang itu mempunyai dua sisi yang ketajamannya melebihi sebuah pisau cukur.

Melihat tiga korban telah jatuh tak bernyawa, lelaki bermata bengis itu semakin tampak bernafsu untuk membunuh gadis di depannya. Dengan suaranya yang menggeram menahan kebencian, lelaki itu berkata kepada lawannya,

"Dosamu kepadaku semakin bertambah, Arum Kafan! Sudah tak ada ampun lagi yang tersisa untukmu!"

Perempuan yang dipanggil Arum Kafan itu menjawab dengan wajah tanpa senyum sedikit pun, dengan mata memandang tajam dan dingin, seakan tak mau kalah bengis dengan mata lawannya.

"Aku tak pernah mengharap ampunan darimu, Tulang Neraka! Apa yang ingin kau lakukan padaku, lakukanlah sepanjang kau mampu melakukannya! Tapi kau pun harus bersiap-siap kehilangan nyawamu seperti kedua adikmu dan satu kakakmu itu, Tulang Neraka!"

Lelaki yang berjuluk Tulang Neraka itu, ternyata adik dan kakak dari ketiga orang yang telah dibunuh oleh Arum Kafan di tempat itu juga. Rupanya mereka adalah empat bersaudara yang berhadapan dengan satu musuh mereka, yaitu perempuan cantik tersebut. Apa masalahnya, belum jelas. Yang sudah pasti, Tulang Neraka merasa sangat sakit hati melihat ketiga saudaranya mati di tangan Arum Kafan.

Serial Pendekar Mabuk "Suto Sinting" - SuryadiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang