Tak ada yang lebih menyakitkan ketimbang melepaskan orang yang sangat kita cintai. Jiwa seakan tersedot dari raga kita. Itulah yang dirasakan oleh Friska sekarang. Sejak ia meninggakan Reza hari itu, tak ada lagi yang menjemputnya. Tak ada lagi yang mengajaknya makan. Tak ada lagi yang mengantarkannya ke kampus. Tak ada lagi yang memeluknya. Tak ada lagi yang membentaknya. Dan tak ada lagi seseorang yang menemaninya saat ini.
"Hehehehehe" Friska terkekeh. Menyedihkan. Hidup macam apa ini?. Friska sangat meruntuki kebodohannya. Untuk apa dia dulu menerima Reza menjadi kekasihnya?? Mengingat hal itu, Friska jadi teringat hal romantis yang Reza lakukan padanya saat memintanya menjadi kekasih Reza. Pagi itu... di lapangan basket... bunga... pelukan hangat.
#Flashback on#
"Fris, lo mau pesen apa?" tanya Dinda-teman sekampusnya Friska-
"Siomay aja deh" cetus Friska singkat. Matanya masih setia melototi leptopnya. Tanpa mau repot-repot memandang wajah Dinda yang sebal.
"Minumnya?" tanya Dinda lagi.
"Ish! Air putih aja deh" cetus Friska kesal. Kini ia sedang menatap Dinda. Dinda yang berhasil mengambil alih fokus Friska hanya menyengir kuda. Dasar.
TIIIITT
Suara microphone kampus berbunyi nyaring. Membuat para mahasiswa mengernyit karena bunyi yang sangat memekakakan telinga itu. Semua mahasiswa diam menunggu informasi apa yang akan disampaikan dosen pada mereka. Terkecuali Friska, ia masih sibuk dengan laptopnya. Mengirim email kepada papanya yang sedang dinas di luar kota.
Tapi dugaan para mahasiswa salah. Ini bukan suara bu Endang. Biasanya bu Endang yang akan menyampaikan informasi. Tapi ini, suara bariton milik seorang pria. Semua mahasiswa mulai ricuh menebak-nebak suara siapa ini?.
Sampai pada akhirnya pria tersebut menyebut-nyebut nama Friska. Membuat Friska menghentikan aksinya dan menajamkan pendengarannya.
"... sekali lagi, saya mohon kepada ananda Friska Aluna Valleendro untuk segera menuju ke lapangan basket. Ada yang ingin saya bicarakan dengan anda. Sekian dari saya. Terima kasih"
Dinda yang mendengar nama sahabatnya disebut-sebut langsung menghampiri Friska yang sedang kalut dengan pikirannya. Menebak-nebak siapa orang yang ingin menemuinya dan ada urusan apa?.
Semua pengunjung kantin ricuh. Banyak pertanyaan yang menyerbu Friska. Seperti, siapa tadi? Ada apa? Pacarmu? Dan bla bla bla.
Dinda yang berada di belakang Friska langsung menepuk bahu Friska. Menyadarkan Friska dari lamunannya.
"Lo dipanggil" kata Dinda polos.
"Terus?" tanya Friska. Mencoba memancing kemarahan sahabatnya itu. Hehehehe. Dia memang iseng.
"Ya kesana lah! Temuin tuh pujaan hati lo! Itu suara Reza kan?!" teriak Dinda dengan tidak nyantainya.
"Idih sok tau. Ya udah yuk temenin gue" kata Friska dengan menarik tangan Dinda menuju lapangan basket di kampusnya.
Friska tidak mengerti mengapa setiap langkah Friska mendekati lapangan basket hatinya tak henti-hentinya berdegup kencang?
Dan terjawab sudah. Pria yang selama ini selalu mengejar-ngejar Friska tanpa henti. Pria yang setiap malamnya selalu mampir di mimpi Friska. Pria yang berhasil membuat jantung Friska berdegup tidak karuan bila berada di dekatnya. Sekarang pria itu sedang berada di tengah lapangan basket dengan membawa sebuket bunga mawar biru.
Reza tersenyum manis pada Friska. Menatap Friska dengan lembut.
"Friska Aluna Valleendro, dengarkan aku bernyanyi. Mungkin suaraku akan merusak gendang telingamu. Tapi, dengarkan ya?"
Setelah mengatakan demikian. Reza duduk di kursi yang telah disiapkan dan mengambil gitar disampingnya. Ia mulai mememetik gitar tersebut. Friska yang melihat itu mengembangkan senyumnya.
Saat ku tenggelam dalam sendu
Waktu pun enggan untuk berlalu
Ku berjanji tuk menutup pintu hatiku
Entah untuk siapapun itu
Semakin ku lihat masa lalu
Semakin hatiku tak menentu
Tetapi, satu sinar terangi jiwaku
Saat ku melihat senyummu
Dan kau hadir, merubah segalanya
Menjadi lebih indah
Kau bawa cintaku
Setinggi angkasa
Membuatku merasa sempurna
Dan membuatku utuh
Tuk menjalani hidup
Berdua denganmu selama-lamanya
Kaulah yang terbaik untukku
(Adera~ lebih indah)
Reza menghentikan nyanyiannya. Ia berdiri dan menaruh gitar disampingnya. Menatap Friska dengan senyum yang sangat lebar. Friska sudah tidak tahan lagi, ia meneteskan air mata haru.
"Friska, bisakah kau kemari?" tanya Reza tanpa mengalihkan pandangannya dari Friska.
Friska melangkah mendekati Reza. Setelah dirasa dekat, Reza menggenggam tangan Friska dengan penuh kelembutan.
"Setelah sekian lama aku baru berani menyatakan padamu sekarang. Maafkan aku karena membuatmu menunggu. Maafkan aku yang selalu membuatmu menangis. Maafkan sifatku yang kenak-kanakan. Sekarang.... aku akan menyatakannya padamu"
Reza menghapus air mata Friska dengan ibu jarinya. Reza menghela nafas panjang. Mencoba menghilangkan rasa gugupnya.
"Friska, kau selalu bisa membuatku tersenyum dengan tingkah konyolmu. Saat ku sedih kau selalu datang menghiburku. Membuat hidupku lebih indah. Terima kasih. Dan sekarang aku tidak mau bertele-tele. Friska, would you be my girl?"
Friska langsung menganggukkan kepalanya. Suara sorak sorai mahasiswa menyertai mereka. Reza langsung memeluk Friska erat seakan ia tidak rela Friska pergi dari hidupnya.
Dan tanpa mereka sadari.... sepasang mata tajam tengah mengintai mereka.
****************************************************************************************
Vote and Comment. Thank you.

KAMU SEDANG MEMBACA
Disguise
RandomFriska Alluna Valeandro ya, itu namaku. Tak perlu kau panggil semua, panggil Friska saja. Disinilah aku, hidup di tengah-tengah kepingan guci yang mahal. Tentu aku tidak bisa hanya berdiam diri dan membiarkan diriku terjebak di kepingan guci yang se...