Chapter 12: Tears

378 13 0
                                    

Vote and Comments

***

"Jauhin Dio." Ucap Cindy dengan nada mengancam.

Aku tercekat dan menatap Cindy nanar. Tetesan kedua air mataku lolos dari pelupuk mataku begitupun yang ketiga dan seterusnya.

Aku menunduk dan menatap kebawah dan kudengar suara klakson bus. Aku memberanikan diri untuk menengadah dan kembali menatap Cindy. Aku mengangguk kepadanya. Ia tersenyum penuh kemenangan dan berbaik berjalan menuju cafe.

Aku bahkan belum memulainya dengan Dio namun sudah ada halangan bagi kami berdua. Aku tidak bisa membuat Dio dan keluarganya terlibat disini. Aku tidak ingin Cindy berbuat macam-macam.

Aku masuk kedalam bus dan duduk di salah satu kursi yang kosong. Aku duduk dan menatap kesamping melihat pemandangan kota Paris dan gemerlap lampunya dari kaca bus. Aku menyenderkan kepalaku dan memejamkan mataku sejenak.

"Carissa, hey."

Aku terkejut mendengar suara seseorang memanggil namaku. Aku berbalik dan menemukan Julian sedang menatapku dan berdiri di tengah bus. Aku tersenyum menatapnya dan melambaikan tangaku,

"Julian, lama tidak berjumpa."

Ia memberi tanda padaku dengan matanya apakah ia boleh duduk disebelahku dan aku mengangguk.

"Had a bad day?"

Aku mengangguk dan tersenyum lemah. Aku memijat pelipis mataku dan kurasakan sebuah tangan berada pada pundakku sekarang.

"Everything is gona be fine. Mau berbagi cerita padaku?" Ucapnya lembut padaku.

"Oui." Senyumku lemah tidak hilang pada wajahku dan itu membuat Julian sedikit merasa bersalah- meskipun itu bukan perbuatannya.

Aku bercerita banyak hal tentangnya mengenai hari ini, bagaimana Dio memintaku menjadi kekasihnya, bagaimana temannya memperlakukanku- I mean, Chandra is fine. Totally fine. Dia sangat baik dan ramah- tapi Cindy? She really treats me like a trash.

Aku bercerita apa adanya kepada Julian tanpa menambahkan apapun kepadanya. Sesaat ia terlihat mengangguk angguks seakan mengerti perasaanku saat ini. Ia tidak menanggapiku dan tidak berkata ia harus berkata apa atau melakukan apa, ia hanya diam dan mendengarkan. Dan itu membuatku jauh lebih baik, aku benar-benar membutuhkan seseorang yang dapat mendengarkanku sebaik ini seperti yang Julian lakukan.

Ia menoleh ke samping dan menatap wanita yang mungkin berumur akhir 20 an dan berbicara sesuatu padanya. Aku tidak terlalu mendengarnya dan justru sekarang aku sedang merasa bingung apa yangs sedang ia lakukan.

Ia berbalik dan membawakanku sesuatu, ternyata ia meminta tissue dari wanita tadi. Aku tersenyum dan mengibaskan tanganku. Meskipun aku belum menangis, ia sudah menyiapkan hal ini, dia benar-benar lucu.

"Aku tidak menangis." Ucapku dengan sedikit nada geli.

"Karena kau sudah cukup banyak menangis. Kulihat matamu bengkak. Tidak ada salahnya berjaga-jaga kan?" Jawabnya enteng dan mengulurkan tissue itu kearahku.

Aku tertawa pelan dan menerima tissue darinya, "Merci, Julian."

Ia mengangguk kepadaku. Ia mengambil ponsel dari kantongnya dan mengetik sesuatu entah apa itu aku tidak memperhatikan. Aku kembali menatap ke luar jendela dan kulihat rintik hujan sudah mulai menjatuhi kota indah ini.

"Hujan." Aku bergumam dalam bahasa Indonesia pelan tanpa menyadari bahwa Julian mendengarkanku.

"Kau berkata apa baru san?" Ia menanggapiku dan aku berbalik menatapnya.

Eiffel, I'm in LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang