Lingga❌Linka 06

479 45 0
                                    

"DARI mana kamu, Linka?" Suara bariton tersebut menggema di telinga Linka.

Berusaha tidak peduli, Linka melanjutkan jalannya yang tadi sempat terhambat karena pertanyaan Jodi.

"Kamu dari mana, Nak?" tanya mamanya dengan suara lembut sambil mendekati Linka.

"Aku capek." Setelahnya, Linka benar-benar melenggang pergi dari ruang tamu dan berjalan menapaki anak tangga satu persatu untuk masuk ke dalam kamarnya.

Tuk... tuk... tuk...

Linka mendesah. Baru saja ia duduk disisi ranjang, pintu kamarnya yang sengaja ia kunci sudah diketuk. Ia yakin itu mamanya. Alih-alih membukakan pintu, Linka justru beranjak menuju kamar mandinya. Melepas penat yang sedari tadi membuncah. Melepas beban yang selalu ia pikul sendiri. Ia berharap, jika air yang mengalir ditubuhnya dapat membawa serta semua rasa dalam dirinya. Tapi nyatanya, tidak.

Setelah menghabiskan waktu selama setengah jam di dalam kamar mandi, Linka keluar dengan pakaian tidurnya. Rambutnya sengaja ia basahkan, padahal tadi pagi ia sudah keramas. Dan kini, ia duduk disisi ranjang sambil melirik ke arah jam yang berada di atas nakas samping tempat tidurnya.

23.30

Itu artinya, ia sampai dirumah saat jam menunjukkan pukul sebelas malam -kurang lebih. Dan Linka tidak menyadari hal itu. Ia asik dengan tempat yang ia kunjungi tadi. Seolah-olah tempat tersebut adalah tempatnya untuk pulang. Padahal, tempat tersebut hanya untuk orang-orang yang benar-benar sudah pulang.

Entahlah, mungkin Linka merasa rumah yang sekarang ia tempati tidak lagi seperti rumahnya yang dulu. Dimana ia merasakan pulang ke rumah saat benar-benar pulang.

Nyatanya, ia rindu. Pada semua kejadian tempo dulu, yang membuat dirinya merasa menjadi orang paling bahgia di dunia ini. Sampai dirinya lupa bahwa orang yang merasa paling bahagia pun akan mendapatkan rasa sedih, melebihi sedihnya orang paling menyedihkan di dunia.

Nyatanya, ia masih merasakan kesedihan itu. Kesedihan yang seharusnya berangsur-angsur membaik. Meminta diganti dengan kebahagiaan baru yang harusnya ia sapa dengan riang.

Nyatanya, ia masih terjebak dalam masa lalunya. Masa lalu yang seharusnya ia lupakan, lalu melalui masa kini yang sedang dihadapinya, dan menata masa depannya sebaik mungkin.

Nyatanya, Linka berubah.

❌❌❌

Pagi-pagi sekali, Lingga sudah bangun. Mandi, membereskan buku mata pelajaran hari ini, lalu turun ke bawah untuk sarapan.

Sebenarnya Lingga selalu tepat waktu saat sarapan dan jam berangkat ke sekolah, tapi yang membuat dirinya selalu telat adalah kebiasaannya untuk muter-muter di daerah sekitar dari rumah menuju sekolahannya. Entah apa faedahnya, tapi Lingga suka melakukan hal itu, katanya. Yah, setidaknya, ia tidak melakukan hal yang aneh-aneh.

Selesai sarapan, Lingga langsung berpamitan pada kedua orangtuanya dan berjalan menuju garasi untuk mengambil motornya. Setelah memanaskan motornya selama beberapa detik, ia kemudian menjalankan motornya dan keluar dari area rumah membelah jalanan pagi yang dinginnya menusuk kulit.

Tujuannya kali ini masih sama seperti kemarin. Kemana lagi kalau bukan rumah seseorang yang ia ketahui dari hasil menguntit. Bilang saja kalau Lingga itu stalker, sampai-sampai ngikutin orang itu diam-diam. Tapi, namanya juga Lingga, yang kalo udah kepo harus ia ketahui sampai ke akar-akarnya, tuntas.

Yang membuat Lingga merasa sangat senang adalah, komplek rumah orang itu bersebelahan dengan komplek rumahnya. Itu berarti ia hanya membutuhkan waktu paling lambat lima menit untuk sampai disana.

Nyampe juga yekan.

Lingga melirik jam tangan hitam yang melingkar di lengan kirinya. Jarum panjang menunjuk angka tiga dan jarum pendek menunjuk angka enam lewat sedikit. Itu artinya, masih ada waktu empat puluh lima menit untuk sampai sekolah tepat waktu bersama Linka.

Lingga menepikan motornya tepat di samping pekarangan rumah Linka. Senyumnya tidak pernah pudar sedari tadi. Kakinya melangkah dengan pasti. Ia percaya diri sekali. Pasti kali ini Linka tidak akan bisa turun lagi dari motornya atau apapun itu yang membuat dirinya berhasil menjalankan misi berangkat bareng Linka, pikirnya.

Dengan segera Lingga mengetuk pintu rumah Linka yang bercat putih bersih itu. Diketuknya sampai beberapa kali, namun tak ada jawaban. Sampai lima menit berlalu, seseorang keluar.

"Eh, kamu lagi. Maaf baru bukain pintu. Tadi saya lagi di atas," tutur Jodi.

Lingga tersenyum manis. "Nggak apa-apa, Om. Saya kesini mau jemput Linka. Gimana?" tanya Lingga to the point.

"Ah, kebetulan kamu ke sini, Nak Lingga." Mata pria paruh baya itu mengerling, lalu melanjutkan, "Om mau titip surat izin untuk Linka, ya," ucapnya sambil menyerahkan amplop putih.

Lingga mengambil amplop itu dengan kening yang berkerut, "Ini apa, Om?"

"Itu surat, pake nanya kamu itu," candanya.

"Ya amplop si Om bisa bercanda juga ternyata," kekeh Lingga. "Maksud Lingga, isi suratnya apa dan kenapa dititip ke Lingga? Emang Linka kemana?"

Jodi tersenyum sendu, "Linka sedang sakit. Kamu tolong berikan ini ke gurunya, ya."

Raut wajah ceria Lingga kini tergantikan dengan raut wajah yang cemas. "Waduh, aduh, Inka sakit? Ya ampun, gimana sekarang dia, Om? Panas gitu? Udah makan belom? Udah minum obat juga? Kenapa nggak dibawa ke dokter aja, Om? Yaamfun," ucap Lingga panjang-lebar.

Jodi menepuk dua kali bahu kiri Lingga dengan tangan kanannya, lalu tersenyum. "Makasih kamu udah cemas sama anak, Om. Mudah-mudahan Linka nggak parah. Doain dia supaya cepet sembuh, ya."

"Pasti, Om, pasti!"

"Ya sudah, kamu berangkat sana. Nanti kesiangan lagi."

Lingga mengangguk, "Okidoki, Om. Salam buat Inka sama Tante, yaa! Assalamualaikum." Selepas menyalami tangan Jodi, Lingga pun berjalan menjauhi pintu menuju motornya. Setelah itu, ia mulai menjalankan motornya membelah jalanan pagi yang masih terasa dingin akibat hujan semalam.

❌❌❌

"Kamu nggak papa 'kan, kalo kami tinggal?" tanya Dini -mama Linka- sembari menatap khawatir anaknya.

Linka hanya mengangguk sebagai jawaban lalu menarik selimut berkarakter unicorn itu sampai ke atas kepala. Ia kedinginan.

Dini menghembuskan napasnya, "Baiklah, kalo gitu Mama sama Papa pergi, ya. Kalo kamu masih terasa sakit atau gimana, telpon aja. Jangan maksain buat ngelakuin hal yang berat-berat," katanya.

Melihat tidak adanya respon dari sang anak, Dini pun keluar dari kamar yang bernuansa pink pastel-putih itu. Sebelum ia benar-benar menutup pintu kamar, ia berbisik pelan,

"Cepat sembuh, Inka."

Sementara itu, Linka yang mendengar suara pintu yang sudah tertutup sempurna, menurunkan selimutnya, menampakkan kepalanya dengan wajah yang pucat pasi itu. Ia kemudian menghela napas. Bahkan napasnya pun terasa dingin.

Semalam, ia benar-benar tidak sadar jika hujan datang menghampiri dikala dirinya kembali dirundung kesedihan di tempat itu. Langit benar-benar menemaninya untuk menumpahkan air matanya. Meski tidak begitu deras, tapi Linka merasakan sangat dingin malam itu. Saking dinginnya ia sampai lupa untuk pulang hingga tidak sadar jika waktu telah berlalu cepat.

Niatnya untuk tidak bersedih lagi tidak tercapai. Lagi-lagi dirinya gagal. Padahal, sebelum ia benar-benar memasuki tempat itu, dirinya sudah berjanji tidak akan menangis lagi. Tapi sepertinya, ia masih belum bisa merealisasikan janjinya itu.

Karena pada kenyataannya, ia masih terjebak pada masa lalu.

❌❌❌

1 Maret 2017

Lingga & Linka [STOPPED PERMANENTLY]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang