Lingga❌Linka 02

822 75 0
                                    

"EH, gua minta maaf woy!"

"Cewe, maafin gue kenapa, sih?"

"Li- Li- Libet banget nama lo. Gue minta maaf elah."

"Gue beliin makan deh di kantin, tapi maafin gue, ya?"

"Oh! Gue anter pulang sekolah, oke?"

"Ya Allah, aku harus apa lagi biar makhluk cantik ini mau memaafkanku."

Lingga frustasi. Pasalnya, sedari tadi ia seperti ngomong dengan tembok. Tidak ada yang jawab. Bahkan lawan bicaranya pun hanya untuk sekadar menoleh tidak. Lingga sampai curiga kalau perempuan itu benar-benar kerasukan hantu jembatan Ancol.

"Linka, lo segitu marahnya sama Lingga sampe lo kacangin dia gitu?" tanya Bimo yang kini menghadap ke arah Linka.

Musa pun mengikuti Bimo memutar badannya ke belakang. "Iya, kayaknya ni bocah satu salah banget gitu hampir nabrak lo." Musa menimpali, dengan sengaja menekankan kata 'hampir'. Berharap agar Linka mau memaafkan sahabatnya itu, meskipun tidak tertabrak sungguhan.

Yang diajak bicara hanya diam. Tidak menanggapi ucapan-ucapan makhluk itu yang mengganggu indera pendengarannya. Ia hanya melakukan aktivitasnya; membaca novel.

Bukannya Linka tuli, atau memakai earphone sehingga tidak dapat mendengar suara-suara mereka. Hanya saja Linka terlalu malas untuk menanggapinya. Lagipula, pribadi Linka memang seperti itu. Mau dipaksa seperti apapun, pertahanan dirinya tidak akan runtuh begitu saja.

Linka juga tidak bisu. Ia bisa berbicara dengan normal. Namun lagi-lagi, ini semua karena kepribadian Linka. Ia hanya akan berbicara seperlunya saja. Selebihnya, hanya akan ia tanggapi dengan anggukan atau gelengan.

"Lo tuh bisa denger 'kan? Bisa ngomong 'kan? Jangan diem aja kenapa, sih?! Abang Lingga nggak bisa dibawangin gini, ya Allah," ucap Lingga dramatis.

"Kok dibawangin, Ngga?" tanya Musa heran.

"Di mana-mana dikacangin, bahlul." Bimo menempeleng pelan kepala Lingga.

"Yee, dikacangin mah udah biasa. Gue kan anti mainstream, jadi dibawangin, ya gak, Li-"

"Linka, Lingga." Bimo dan Musa mengingatkan Lingga nama perempuan yang duduk manis disebelahnya itu.

Lingga menampakkan cengirannya. "Nama dia susah beut, jadi susah diapalin. Tapi kalo muka sih enggak, langsung nyangkut dihati dan pikiran soalnya."

"Rem terus, Mang!"

"Mundur terus, Ngga!"

"Lah si pea. Orang di mana-mana gas terus kek, maju terus, lo pada apaan coba."

"Kita kan anti mainstream."

"Iya juga, ya," Lingga terkekeh. Sedetik kemudian, ia terkesiap karena percakapan bodohnya dengan kedua sahabatnya itu. "Eh Bimus! Lo pada bukannya bantuin gue buat minta maaf sama Linka."

Sedangkan Bimo dan Musa hanya menunjukkan senyum tiga jarinya, lalu menggeleng seirama. Tentu saja hal itu membuat Lingga menghela napas. Pasalnya ia benar-benar kehabisan cara untuk meminta maaf pada cewek yang sekarang menjadi teman sebangkunya.

❌❌❌

Linka menghela napasnya kasar. Lalu memposisikan dirinya menjadi menyamping. Selang beberapa detik kemudian, ia kembali telentang, menatap langit-langit kamarnya.

Gelap.

Jelas saja. Sekarang jam sudah menunjukkan pukul dua belas malam, namun ia sama sekali tidak bisa memejamkan matanya. Entah apa yang merasuki pikirannya sampai mengganggu jam tidurnya saat ini.

Lingga & Linka [STOPPED PERMANENTLY]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang