Luka

2.3K 48 0
                                    

Dunia serasa berguncang. Dan suara bising yang belum mampu diterjemahkan oleh saraf pendengaran Clara pun serasa mengebom otaknya. Mata Clara terbuka. Dan sesosok cowok dengan ajaibnya berdiri di depan Clara dengan tangan kanan yang bertengger di bahu Clara. Sontak Clara pun menghempaskan tangan cowok itu. Berani-beraninya pegang bahu Clara.

" Lo siapa? Ngapain di sini?" Clara mengucek matanya, mencoba mengembalikan kekuatan matanya untuk melihat dengan jelas.

"Aga Remaras. Gak ngapa-ngapain sih. Cuma lagi ngebangunin cewek yang lagi tidur." Cowok yang namanya Aga pun duduk di samping Clara, menyisakan jarak satu meter di antara mereka. Clara mempertajam pandangannya. Sepertinya dia belum pernah melihat wajah Aga sebelumnya. Pasti dia anak baru. Apa mungkin ini Aga yang diomongin Bella.

"Lo anak baru, ya?" Tanya Clara.

"Iya. Baru aja tadi pindah." Aga tersenyum. Ditunjang dengan bentuk wajah ovalnya, alis tebalnya, hidung mancungnya, rambur kerennya, kulit putihnya, senyum Aga bisa dikategorikan sebagai senyum memesona. Tapi kayaknya Clara nggak sadar tuh kalau senyum Aga memesona. Dia nggak terlalu memerhatikan senyum orang lain, selain senyum dari cowoknya sendiri, Stefan.

"Kelas?"

"XI IPA 3." Jawaban Aga membuat Clara manggut-manggut. Ternyata benar. Ini Aga yang diomongin Bella pas istirahat tadi. Clara pun diam-diam mulai meneliti wajah Aga. Clara manggut-manggut lagi. Clara membatin.

Bener kata Bella. Aga ganteng. Clara suka banget sama bentuk wajahnya. Nggak kayak wajah Stefan yang garang banget. Alisnya juga tebel kayak orang Arab. Stefan mah biasa aja alisnya. Hidungnya juga lebih mancung Aga. Loh! Kok Clara jadi bandingin dia sama Stefan ya?

"Hoi.. kok ngelamun sih?" Clara jadi salah tingkah.

"Sorry.. efek bangun tidur, hehe." Clara ngeles. Padahal tadi dia ngelamun gara-gara observasi tentang kegantengan Aga.

"Gue heran sama lo. Bisa-bisanya tidur pules dengan posisi kayak tadi. Sampe sore lagi." Perkataan Aga tiba-tiba menyentil alam sadar Clara. Ini udah sore? Yang bener aja? Rasanya Clara molor beberapa menit doang.

"Sumpeh lo? Ini udah sore? Mati deh gue." Clara jadi kalang kabut nyari i-phone-nya. Dengan gerak cepat dia mengaduk-aduk isi tasnya untuk mengambil benda berlogo apel itu. Clara mencoba menyalakannya, namun setelah berulang kali dicoba, benda itu tak kunjung hidup. Sempurna. I-phone-nya mati. Gimana caranya minta jemput? Masak nunggu taksi sih? Clara lagi males banget nunggu taksi lewat.

"Ga, pinjem hape dong..." Clara tersenyum malu-malu. Kesepuluh jemarinya saling bertaut dan ditempelkannya pada dagunya. Persis anak kecil.

Melihat tingkah Clara, Aga tersenyum seraya merogoh sakunya. Hape putih pun menyembul dalam genggaman Aga. Aga pun memberikannya pada Clara.

"Thanks, Ga. Baik deh." Lagi-lagi dengan gaya anak kecil. Emang gitu tuh kelakuan anak yang masa kanak-kanaknya lebih panjang dari orang pada umumnya. Udah SMA kelakukanndah SMA kelakukannya masih aja kayak anak kecil. Mana nggak mau dikatain kayak anak kecil lagi. Clara.. Clara..

Dengan senyum yang masih terulas di bibirnya, Clara membuka kunci hape Aga dan langsung mengetik nomor hape Mamanya. 081223, tiba-tiba Clara berhenti. Senyum Clara lenyap kemudian dia menepuk jidatnya. Dia baru inget kalo dia nggak hafal nomer Mamanya. Dia inget-inget nomor hape Kakaknya, Kak Baim tapi Cuma angka 08 yang muncul. Nomor Papanya, juga sama. Cuma inget dua angka depannya, 08. Nomer Stefan juga sama. Cuma hafal dua angka depannya doang. 08.

"Kenapa?" Aga yang dari tadi merhatiin Clara yang nampak berpikir kelas, langsung mengutarakan rasa penasarannya. Clara pun mengangkat kepala, menatap Aga.

Romantisme RealistisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang