Esoknya, luka di lutut Clara sudah sembuh dan Clara masuk sekolah. Matanya nggak sembab lagi karena semalem Clara nahan nangis pake banget. Dan akhirnya, berhasil. Semalem Clara nggak nangis. Tapi hatinya sesek pengen nangis.
"Tuh Ra. Stefan lewat." Clara mengikuti pandangan mata Bella. Di ujung sana, dengan cara berjalan Stefan yang khas Stefan berlenggang membelah kantin. Menatap lurus ke jalan, tidak peduli dengan keadaan sekitar.
Clara kembali meminum es jeruknya. Clara nggak mau lama-lama memandang Stefan, karena dia merasakan perasaan cinta, penyesalan, kesedihan, kebencian dan kerinduan yang bercampur saat melihat Stefan.
"Kenapa diem Ra?" Arin bertanya.
"Udah putus!"
Arin melongo mendengar jawaban Clara.
"Beneran kan. Ini bakal terjadi." Dengan santainya, Bella menanggapi jawaban Clara. Bahkan dengan santainya dia menyomot sosis yang dia beli.
"Bell!" Arin setengah membentak Bella.
"Apa sih Rin?"
Arin lantas menghembuskan nafas panjang seraya memutar bola matanya.
"Udah.. Bener kata Bella. Ini pasti terjadi. Gue aja yang terlalu maksain mertahanin hubungan. Tapi gue galau. Rasanya tuh kangen banget sama dia. Emang bener ya, kalo udah putus itu baru kerasa kangennya." Clara menahan air matanya untuk tidak menyelinap keluar. Saat di sekolah kayak gini Clara nggak boleh nangis. Malu.
"Tuh.." Bella melirik Arin.
"Duh Clara... gue kan udah bilang, stay strong. Sekarang kamu makin sakit kan." Arin mengelus pundak Clara.
"Udah lah.. kan udah kejadian. Mana bisa diubah lagi. Nggak usah sedih. Putus ya putus. Yang penting kita masih ada buat lo." Bella tersenyum sembari menepuk pundak Clara. Clara hanya tersenyum, speechless.
Tangan Arin dan Bella pun kembali ke posisi masing-masing. Diam seketika. Arin kelihatan sangat menyayangkan keputusan Clara untuk putus dengan Stefan. Dia ikut merasakan kesedihan yang dirasakan Clara. Sedangkan Bella, walaupun dia mendukung keputusan Clara, Bella tetap ikut bersedih. Bella hanya bisa berharap sahabatnya yang masih childish itu bisa menjadi lebih dewasa karena keputusannya itu.
"Hei! Kok diem-dieman sih?" Tiba-tiba Aga datang dan langsung duduk di samping Clara.
"Ada yang lagi putus cinta nih." Sahut Bella sambil memandang Clara dengan alis terangkat.
Aga mengikuti pandangan Bella hingga pandangannya tertancap pada Clara. Clara hanya mengangguk-angguk. Clara meyipitkan matanya saat menyadari beberapa bagian wajah Aga yang sedikit lebam.
"Wajah kamu, kok..."
Layaknya mendapat ilham, Aga pun tahu apa yang akan ditanyakan Clara. Tapi Aga nggak mau kalau Clara tahu penyebab wajahnya babak belur adalah mantan pacarnya.
"Apa? Ganteng?" Aga memotong pertanyaan Clara. Senyum mengembang di bibir Aga.
"Yee.. GR." Clara ikut tersenyum. Sementara itu, Arin mengerutkan dahi. Seketika itu perasaan tidak suka hampir di hati Arin untuk Aga. Baru pertama ketemu udah genit gitu sama cewek. Tapi lain halnya dengan Bella dan Clara. Mereka menganggap kalo itu nggak termasuk genit, tapi masih termasuk dalam candaan.
"Udah.. nggak usah dipikirin, Ra. Masih banyak cowok lain selain Stefan. Bawa happy aja." Aga mengangkat alisnya.
"Gimana mau happy?" Clara mengalihkan pandangannya pada Arin. Sedari tadi hanya dia yang tak bersuara. Mukanya pun terlihat ditekuk. Dan itu yang menarik perhatian Clara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Romantisme Realistis
Teen FictionKado apa yang kamu harapkan saat sweet seventeenth dari pacar? Apa segebok buku pelajaran masuk dalam wish list-mu? Sayangnya, itulah yang diterima Clara dari cowoknya, Stefan. Kekesalannya pun ditulisnya dalam kertas origami yang kemudian dia lipa...