"Udah nguap berapa kali Ra?" Bella bertanya di tengah uapan Clara.
"Gak gue hitung lah. Sumpah, gue ngantuk banget. Semalem gue tidur jam satu malam gara-gara nonton film. Pas dibangunin alarm, eeh di depan mata gue laptop gue masih kebuka." Jelas Clara.
"Kenapa semalam telfonku nggak diangkat?" Tanpa hujan apalagi petir, tiba-tiba Stefan menyambar di depan Clara. Clara hanya terdiam dan memalingkan wajahnya agar tidak berhadapan dengan Stefan. Stefan tahu kalau gelagat Clara kayak gini, udah pasti dia masih ngambek.
"Entar pulang sekolah aku jemput di kelas kamu, abis itu makan bareng." Clara hanya masih terdiam, tidak peduli pada perkataan Stefan. Sementara itu, Arin dan Bella jadi serba salah. Rasanya nggak enak berada di tengah pertengkaran sepasang sejoli.
Dicuekin melulu, Stefan pun mulai geram.
"Kamu kenapa sih, Ra? Dari kemarin ngambek melulu?" Mendengar nada suara Stefan yang mulai meninggi, Clara memalingkan wajahnya untuk memandang Stefan.
"Kok kamu jadi nyolot? Bukannya minta maaf. Kamu nggak sadar kalo kamu salah?" Dahi Clara berkerut.
Tidak mau memperpanjang percakapan yang panas ini, Stefan pun berkata
"Ya udah aku minta maaf. Aku balik ke kelas dulu." Stefan lantas melangkah meninggalkan Clara. Hal itu justru membuat amarah Clara makin memanas.
"Ikhlas nggak sih? Minta maaf aja wajahnya kayak orang yang lagi nagih utang." Clara sengaja mengeraskan volume suaranya, agar Stefan bisa mendengarnya. Namun Stefan terus melangkah tanpa menggubris perkataan Clara. Kembali ke niatnya tadi, Stefan nggak mau memperpanjang perbincangan panas antara dia dan Clara.
Setelah memastikan Stefan sudah jauh dari pandangan, Bella baru berani mengeluarkan suara.
"Gue heran deh Ra, sama hubungan lo sama Stefan. Bertengakar mulu. Ngambek-ngambekan mulu. Ya gue tahu dalam hubungan itu ada yang namanya pertengkaran. Tapi kayaknya kalo lo tuh keseringan deh. Nggak baik tuh." Nada suara Bella terdengar serius.
"Tau ah Bel. Tadi aja pas dia minta maaf juteknya kayak apa? " Clara menyeruput jus jeruknya, mencoba mengabaikan kejadian tadi. Namun tetap saja. Kejadian tadi masih menghantui benaknya.
"Mungkin pertengkaran itu yang malah membuat kamu jadi dewasa, Ra." Arin ikut angkat bicara.
Clara berhenti menyeruput jus jeruknya dan menyandarkan punggungnya di kursi. "Dewasa? Kalau terluka mah bener."
"Terus lo maunya apa? Putus?" celetuk Bella.
Jedaarrr! Clara kembali menegakkan posisi duduknya.
"Bel! Dari kemarin ngomporin terus deh. Ra, jangan dengerin omongan Bella. Denger! Inget apa yang gue omongin kemaren! Stay strong, beib." Arin kembali menunjukkan jalan yang lurus pada Clara.
"Makasih Rin." Clara kembali menyeruput jus jeruknya dan tenggelam dalam fikirannya. Mungkin kata Arin benar, dan celetukan Bella juga enggak 100% salah. Masak iya sih ini tanda-tanda kalau Clara mau putus sama Stefan?
I-phone Clara berdering. Ada BBM masuk.
'Ra, entar sepulang sekolah rapat redaksi. Tolong dateng ya.'
Ternyata dari Helena, ketua redaksi. Clara emang tergabung dalam anggota redaksi mading dan majalah sekolah.
Clara jadi bingung. Apa dia batalin aja rencana makan siang sama Stefan? Tapi sebenernya Clara males ikut rapat redaksi dengan suasana hati yang lagi campur aduk kayak gini. Lagian paling-paling rapatnya juga gitu-gitu doang. Cuma ngasih usul berita buat majalah edisi yang akan datang sama ngisi mading yang kosong.
KAMU SEDANG MEMBACA
Romantisme Realistis
Teen FictionKado apa yang kamu harapkan saat sweet seventeenth dari pacar? Apa segebok buku pelajaran masuk dalam wish list-mu? Sayangnya, itulah yang diterima Clara dari cowoknya, Stefan. Kekesalannya pun ditulisnya dalam kertas origami yang kemudian dia lipa...