Tanpa aba-aba, Clara langsung bangkit dan beranjak dari tempat duduknya. Dia melangkahkan kakinya dengan segera menuju ke lapangan, menemui Aga.
"Woi! Ngapain lo ngelap-ngelap keringet cowok gue?" Clara langsung menyambar handuk kecil putih yang dipegang oleh seorang cewek di depan Aga yang terlihat sedang mengelap keringat di wajah Aga. Dilemparkannya handuk itu tepat mengenai wajah cewek itu.
"Apa-apaan sih?" Cewek itu menyingkirkan handuk itu dari mukanya.
"Sayang, jangan marah dulu. Malu dilihat banyak orang" Tangan Aga mengapit kedua bahu Clara dari belakang, namun tidak sedikitpun mengurangi rasa jengkel Clara pada cewek di depannya itu.
"Ooh, jadi ini cewek lo, Ga? Masih kayak anak kecil ya." Perkataan cewek berkuncir kuda di depan Clara itu menambah kobaran api emosi di hati Clara. Uuh.. dasar nenek lampir.
"Hee.. jaga mulut lo, ya." Clara melangkahkan kakinya ke depan dan dia mengangkat tangannya untuk mendorong bahu cewek itu. Namun tangan Aga yang sedari tadi mengapit bahu Clara menahan Clara hingga cewek di depan tadi hanya butuh satu langkah mundur untuk menghindari jangkauan tangan Clara.
"Ga, Ga.. kalo gue jadi lo, gue bakal putusin tuh cewek. Cewek kayak anak kecil kayak dia pasti bisanya cuma ngerepotin." Cewek itu tersenyum setan lantas meninggalkan Clara dan Aga.
Clara hendak berlari dan menampar pipi cewek itu, namun yang terjadi hanyalah kaki Clara yang gerak-gerak nggak karuan tanpa berpindah sedikitpun dari posisinya. Tangan Aga semakin kuat menahan Clara. Sadar hanya melakukan sesuatu yang sia-sia, Clara pun berhenti meronta dan menunduk. Aga memutar bahu Clara dan kini Clara dan Aga saling berhadapan.
"Sayang.. udah dong marahnya.." Clara mengangkat wajahnya dan memandang wajah Aga.
"Gimana gue nggak marah? Kamu dilap keringetnya sama cewek lain di depan umum masak gue diem aja?"
"Sayang, nggak usah marah gara-gara itu. Itu cuma masalah kecil." Perkataan Aga malah membuat emosi Clara makin berkobar.
"Haa? Kecil? Kamu bilang itu masalah kecil?"
"Gini. Hal kayak gitu tuh biasa di kalangan anak voli. Hal itu malah nunjukin solidaritas tim."
"Aaah. Lo ini sama aja sama yang lain."
Clara lantas menepis kedua tangan Aga dan berlari meninggalkannya. Mata Clara memanas. Sampai di tempat duduknya tadi, Clara meraih ranselnya yang sedang duduk manis di kursi itu. Clara pun terus berlari tanpa tujuan. Pokoknya lari. Pokoknya jauh dari Aga.
Tak terasa mata Clara yang panas mulai mengalirkan air mata. Dia mengusap air matanya namun mata yang lain mengucurkan air mata lagi. Merasa kesal, kaki Clara pun berhenti di samping pohon besar di halaman belakang sekolah. Dia mengedarkan pandangan ke sekeliling. Sepi.
Punggung Clara akhirnya melorot pada pohon itu.
"Huuhh.. sial. Kenapa sih semua orang nganggep gue anak kecil."
Clara merogoh iphone-nya. Dibukanya menu BBM, niatnya sih mau nge-chat Arin. Tiba-tiba Clara inget sesuatu. Dia kan lagi marahan sama Arin. Jadi nggak mungkin kalo dia nge-chat Arin sekarang. Kalo curhat sama Bella udah pasti nggak bisa. Dia kan lagi latihan voli. Kak Baim? Bisa jadi tuh.
Karena Kak Baim nggak punya akun BBM, Clara pun keluar dari menu BBM dan mencari kontak Kak Baim. Dia menelfon Kak Baim. Satu detik, dua detik, 30 detik, nggak ada jawaban. Dan akhirnya tut tut tut tut..
"Sial banget sih..." Clara menyeka air matanya yang mengalir lagi di pipi. Dia mencoba menelfon Kak Baim lagi. Satu detik, dua detik, 30 detik. Tetep aja nggak ada jawaban.
KAMU SEDANG MEMBACA
Romantisme Realistis
Teen FictionKado apa yang kamu harapkan saat sweet seventeenth dari pacar? Apa segebok buku pelajaran masuk dalam wish list-mu? Sayangnya, itulah yang diterima Clara dari cowoknya, Stefan. Kekesalannya pun ditulisnya dalam kertas origami yang kemudian dia lipa...