"Nggak mungkin. Ini suara Stefan. Gue yakin banget ini suara Stefan. Tapi masak sih dia? Atau gue ngintip aja ya? Nggak boleh. Entar ketahuan lagi kalo gue udah sadar." Clara kembali ngedumel dalam hati.
"Gimana ceritanya kok Clara bisa sampe pingsan? Ditambah lagi dahi dan sikunya berdarah." Nada suara Mama sangat terdengar khawatir.
"Kesrempet mobil tante. Tadi aku sempet lihat dia lari, nggak tau kenapa. Berhubung tante sendiri dokter, aku anter pulang aja Clara, biar langsung bisa diobati."
"Makasih banget lho Stefan. Untung aja tante belum berangkat ke Rumah Sakit." Tuh bener. Itu Stefan. Clara makin bingung. Kok bisa Stefan nolong dia?
"Iya tante, sama-sama. Gimana keadaannya Clara tante? " Clara menangkap nada cemas dalam perkataan Stefan.
"Clara nggak papa. Cuma kayaknya dia tadi kaget, jadinya sampe pingsan. Besok juga udah bisa ke sekolah."
"Syukur deh tante. Ya udah tante, saya pamit mau ke sekolah dulu."
"Hati-hati ya, Stefan."
"Iya tante."
Kemuadian terdengar suara kaki menjauh, namun tiba-tiba berhenti.
"Oiya tante. Jangan kasih tahu kalau aku yang nganter Clara pulang ya."
"Lho? Kenapa?"
"Nggak papa tante."
"Ok.. tante nggak bakal ngasih tahu Clara kalo kamu nganter dia pulang."
"Mari tante.." Terdengar suara pintu terbuka, dan kemudian tertutup.
"Stefan, Kenapa lo bilang gitu sama Mama? Kenapa gue nggak boleh tahu kalo yang nganter gue itu elo? Apa gue nggak boleh tahu kebaikan yang lo lakuin buat gue? Mungkin dulu perkataan Kak Baim bener. Sikap cuek lo dulu itu bermaksud buat ngelindungin gue. Stefan, kenapa lo ngirim gue ke situasi dimana gue kangen sama kecuekan lo. Tapi, gue juga sadar kalo gue nggak seharusnya kangen sama lo. Gue harus setia. Sebaik apapun Stefan, gue harus setia sama pacar gue sekarang. Tapi, apa gue harus setia sama Aga, kalo dia udah berani-beraninya nggandeng cewek lain?" Clara lagi-lagi ngedumel panjang lebar dalam hati.
Clara akhirnya membuka mata. Mengakhiri sandiwara pingsannya.
"Udah bangun, sayang? Ini minum air putih dulu." Mama langsung menunjukan sisi keibuannya. Menyodorkan segelas air putih pada anak perempuannya itu. Clara pun meneguk air putih yang diberikan Mama padanya.
"Aku kenapa, Ma?" Clara pura-pura tak tahu apa-apa. Padahal Clara sudah tahu dengan jelas apa yang telah menimpanya. Clara kesrempet mobil sampe pingsan, dahi dan sikunya luka, Stefan yang membawanya pulang dan Stefan nggak mau Mama cerita kalau dialah yang nganter Clara pulang.
"Kamu habis kesrempet mobil. Tuh dahi dan siku kamu luka. Tapi tenang, udah Mama obatin kok. Lagian, kok bisa kesrempet mobil sih?" Mama emang bisa dipercaya. Buktinya dia nggak nyebutin kalau Stefan yang nganter Clara pulang.
"Aku nggak tahu. Tiba-tiba aja pas aku nyebrang, aku kesrempet, Ma. Yang salah mobilnya, bukan aku." Clara bohong. Jelas-jelas dia yang salah. Pake acara lari-lari gak jelas. Jadinya kesrempet kan.
"Ya udah, Mama berangkat dulu ya."
"Yaah, Mama. Masak anaknya sakit mau ditinggal?"
"Duh.. Manjanya anak Mama." Mama mengusap-usap rambut Clara.
"Aku nggak manja." Clara mengerucutkan bibirnya. Entah kenapa telinganya sangat sensitif dengan kata'manja'. Serasa kata 'manja' bisa otomatis menekan tombol kemarahan Clara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Romantisme Realistis
Teen FictionKado apa yang kamu harapkan saat sweet seventeenth dari pacar? Apa segebok buku pelajaran masuk dalam wish list-mu? Sayangnya, itulah yang diterima Clara dari cowoknya, Stefan. Kekesalannya pun ditulisnya dalam kertas origami yang kemudian dia lipa...