Penjara

1.6K 36 0
                                    

"Lo udah coba telfon?"

"Udah Bell, bolak-balik, tapi nggak nyambung." Clara menjawab sambil menusuk bakso pesenannya.

"Palingan Stefan ganti kartu. Udah ke rumahnya?" Sekarang Arin yang nanya.

"Belum, hehe. Gue malu sih?" Clara senyam-senyum.

"Oooh, lo tuh punya malu?" Celetuk Bella. Mukanya menggoda kemarahan Clara.

"Yee.. lo pikir gue orang gila yang nggak tahu malu? Gue sih pengennya abis ini gue mau samperin dia ke kelasnya. Tapi gue nggak berani sendiri." Clara mengode kedua sahabatnya. Dia nggak berani kalo harus ke ruang kakak kelas sendirian.

"Ya udah deh, habis gue habisin nih bakso, gue temenin." Ujar Bella.

"Gue juga bakal nemenin lo, Ra." Arin tersenyum.

***

Di kelas Stefan..

Clara dan Bella hanya celingak-celinguk di depan pintu kelas, layaknya kelinci yang ngintip kandang singa. Bella sih stay cool, sedangkan Arin juga ikutan celingukan kayak Clara. Mata Clara nggak menjumpai ada penampakan Stefan.

"Emm, Kak Sania.." Clara memanggil Kakak kelas yang nggak begitu ia kenal baik. "Iya, Clara ya? Nyari Stefan? Duh, dianya nggak masuk tuh." Kayaknya Sania punya bakat jadi paranormal deh. Belum ditanya, udah bisa jawab. Jawabannya tepat lagi.

"Lho, kenapa, Kak?" Clara serasa tak percaya saat mendengar perkataan Sania tadi.

"Nggak tahu tuh. Palingan lagi males sekolah.." Clara mengerutkan dahi.

"Males sekolah, Kak?" Clara keponya kumat.

"Iya. Minggu ini sama minggu depan tuh intensif UNAS, jadi pelajarannya cuma pelajaran UNAS, nah di minggu-minggu ini tuh banyak anak-anak yang nggak masuk sekolah gara-gara males ikutan intensif UNAS di pelajaran tertentu. Biasanya sih anak cowok yang sering nggak masuk."

"Oooh, gitu ya, Kak. Makasih ya, Kak."

Clara lantas pergi menelan kekecewaan. Hatinya bilang ada yang nggak beres tentang Stefan.

***

"Gimana Dok keadaan Stefan?" Mama dan Papa Stefan berdiri di samping Stefan yang masih belum sadar. Semalam polisi mengirim Stefan ke rumah sakit, dan pergi ke rumah Stefan-tahu alamat rumah Stefan dari KTP Stefan- untuk memberi tahu orang tua Stefan tentang keadaan anaknya.

"Keadaannya sudah membaik, luka-luka di tubuhnya juga termasuk ringan, hanya saja tangan kanannya patah." Mama Stefan sontak melihat tangan Stefan yang dipasang gips. "Saya sudah memberi clorofil, gamat emoision dan propolis agar mempercepat proses penyembuhan patah tulangnya. Paling cepat, 6 minggu akan sembuh."

"Terimakasih, Dok." Papa Stefan dengan tenangnya berterimakasih pada Dokter, sedangkan Mamanya sedari tadi menangis di pelukan Papanya Stefan.

Dokter itu hanya tersenyum dan melangkah keluar ruangan. Mama Stefan terisak di dada Papa Stefan. Tak menyangka anak semata wayangnya bisa masuk rumah sakit karena dipukuli orang.

"Pa, aku tidak terima. Pokoknya pelakunya harus masuk penjara." Mama Stefan terlihat geram.

"Tenang, Ma. Kita serahkan saja kepada polisi."

***

Lima hari kemudian, Stefan masih belum muncul di sekolah. Tentu saja Clara makin khawatir. Dan kali ini, dia memberanikan diri pergi sendiri ke kelas Stefan. Masalahnya, Bella nggak bisa nganterin gara-gara lagi ngerjain PR, sedangkan Arin, lagi dispen gara-gara ikut lomba fotografi.

Romantisme RealistisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang