Kehilangan

2.2K 48 1
                                    

Clara bertopang dagu di meja belajarnya. Sekotak tisu yang isinya tersisa setengah tepat berada di depannya. Matanya terasa berat sekali untuk dikedipkan, akibat tanginsannya yang menguras air mata. Clara tak menyangka perkataan Lisa tadi siang benar. Putus sama Stefan bisa buat dia nangis nggak berhenti-henti.

Clara benci dengan situasi ini. Situasi yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Kenangan-kenangan bersama Stefan secara silih berganti menggentayangi fikirannya. Bukan kenangan yang menyebalkan, namun justru kenangan manis bersama Stefan. Saat pertama kali ia ditembak, saat bercanda bareng, makan bareng, nonton film bareng, membuat Clara serasa ingin mengulanginya kembali.

Clara melirik i-phone-nya. Tiba-tiba saja ia merindukan BBM dari Stefan. Andai saja ada keajaiban kalau Stefan tiba-tiba ngirim BBM Clara, dan ngajak balikan lagi. Tapi nggak mungkin. Clara tahu betul kalo itu nggak akan terjadi.

Namun tiba-tiba saja i-phone-nya berdering. Secepat kilat dia meraih i-phone-nya. Senyum mengembang di bibir Clara karena mengira kalau Stefan yang mengirim sms padanya. Zonk! Ternyata bukan Stefan. Helena yang BBM tentang rapat redaksi tadi siang. Clara pun langsung menggeletakkan i-phone-nya tanpa membaca BBM dari Helena.

Clara frustasi. Diambilnya pulpen hitam dan kertas origami berwarna merah jambu. Clara menarik nafas, mencoba menguntai kata yang tepat untuk menggambarkan perasaan yang dialaminya, lantas mulai menuangkannya di selembar kertas lipat itu.

'Aku baru sadar, kesedihanku bukan berasal dari menekan harapan agar Stefan menjadi cowok romantis, namun saat aku kehilangan dirinya.'

Selesai menulis, Clara pun melakukan ritual yang biasa ia lakukan. Melipatnya menjadi burung kertas dan digantungkan pada paku yang tertancap di samping meja riasnya.

Air mata bergulir lagi di pipi Clara. Clara menarik selembar tisu dan menghapusnya. Satu lagi menggelincir dari balik matanya. Sial. Clara tak bisa berhenti menangis.

***

Sementara itu, di dalam kamar Stefan sudah tak rupa kamar lagi. Buku berantakan, seprai morat-marit, benda-benda lain di meja belajarnya malah ada yang mencelat di lantai. Stefan sangat frustasi. Dia menyalahkan dirinya sendiri karena putus dengan Clara.

"Bangsat! Ini semua salah gue." Dia menendang tembok kamarnya keras-keras.

Tiba-tiba ia teringat sosok cowok yang boncengin Clara. Cowok tadi. Kalo cowok tadi nggak nggak boncengin Clara, ini semua nggak bakal terjadi. Berani banget tuh cowok boncengin Clara. Pokoknya tuh cowok nggak boleh didiemin.

Stefan meraih kunci mobilnya. Terlalu banyak beban yang bersarang di kepalanya. Dia memutuskan untuk pergi ke tempat gym, sesuatu yang sangat jarang dilakuin Stefan apalagi malem-malem.

***

Sesuatu yang hangat serasa menggelitik mata Clara. Dengan enggan, Clara membuka mata. Matanya serasa berat sekali untuk dibuka. Tentu saja. Akibat dari kelamaan nangis.

Clara meraih jam kecilnya. Pukul 06.00 pagi. Udah pagi dan Clara masih males gerak banget. Clara mencoba bangun. Namun saat Clara menggeser lututnya sedikit, rasa ngilu yang amat sakit langsung menjalari lutunya. Clara nggak yakin akan tahan berjalan dengan rasa sakit seperti itu.

Kreeekk.

Pintu kamar Clara terbuka dan sosok Mama Clara pun muncul dari balik pintu. Raut mukanya menyiratkan kebingungan.

"Lho? Jam segini kok belum siap-siap?" Mama berjalan menghampiri ranjang Clara.

"Kayaknya aku gak masuk sekolah deh, Ma. Kakiku sakit banget." Clara mengarahkan pandangannya pada lututnya yang terluka, mengaba-aba Mama untuk ikut melihatnya.

Romantisme RealistisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang