Hujan.
Via memandang rinai hujan yang menggila di luar jendela kamarnya. Angin kencang membuat kaca jendela lebar itu berderak. Masih pagi sudah hujan badai.
Via bergerak, membuka lebih lebar tirai yang menutup kaca jendela kamarnya. Kacanya sudah sepenuhnya berembun, menarik Via untuk melarikan jari-jarinya membentuk gambar abstrak disana.
Ini sudah lama.
Ini sudah 3 tahun sejak terakhir kali Via pulang ke rumah ini. Dan kamarnya tidak berubah sama sekali. Kamar dengan dominasi warna putih dan kuning gading ini masih sama seperti yang terakhir kali mampu dia ingat.
Via mengalihkan perhatiannya pada deretan bunga mawar putih, bunga matahari dan deretan rapi jenis bunga-bunga lainnya yang tumbuh indah di halaman rumah. Terletak tepat di bawah kamarnya di lantai dua. Via tahu Nania -mamanya- sangat menyukai kegiatan berkebun seperti itu. Dan kebun bunga yang indah ini, sudah barang tentu adalah hasil karya tangan Nania.
Rumah ini begitu hangat, tapi di saat bersamaan juga terasa asing.
Pikiran semacam itulah yang hinggap di kepala Via sejak sore kemarin ketika ia pulang. Pulang.
Rasanya aneh untuk mengatakan pulang. Karena ini tidak terasa seperti itu. Via hanya tidak merasa begitu.
*
"Welcome home anak Papa.." sebuah suara berat dan hangat menyambut Via ketika ia baru saja datang bersama Nania yang menjemputnya di Bandara.
Arjuna Firamada, laki-laki pertengahan 40an itu tersenyum lebar sambil merentangkan kedua tangannya. Dengan langkah cepat, Via menghambur ke arah Papanya. Menuntaskan rindu di pelukan papanya yang hangat.
Memeluk papanya terasa masih sama. Pelukan papanya menjanjikan perlindungan dan rasa aman.
"Lexi kangen Papa." bisik Via, yang di balas dengan kecupan di puncak kepala dan elusan lembut di kepalanya.*
Suara ketukan dan handle pintu yang terbuka, membuat Via mengalihkan perhatian dari rintik hujan ke arah pintu kamar yang terbuka setengah. Nania melongok ke dalam kamar lalu tersenyum ketika melihat ternyata Via sudah bangun.
"Mama pikir kamu belum bangun, Lex." ujar Nania.
Via tersenyum menanggapi ucapan Nania. "Lexi, udah bangun dari subuh tadi, Ma. Ngga bisa balik tidur, mungkin.." ia tampak berpikir, "Mungkin karena udah kebiasaan. Soalnya kalo di kampung, habis subuh suka ikutan Uti ke pasar."
Kali ini Nania yang balas tersenyum, lalu melangkah mendekati putrinya.
"Uti dan Kakung itu biarpun udah sepuh tapi tetap ngga ada capeknya ya." Nania berseloroh. "Kadang Papa kamu harus sampe tarik urat kalo udah nyuruh mereka buat ngga kerja lagi, tapi toh akhirnya Papa kamu tetep ngga bisa menang ngelawan Uti sama Kakung."Via tertawa. "Kakung selalu bilang, biarpun hasil kebun cuma cukup buat makan 2 hari dan besoknya harus nyari lagi, itu terasa lebih nikmat karena hidup dari keringat sendiri."
"Yah, kakungmu dan filosofi andalannya."
Via tertawa lagi. Dan Nania menatap lekat putrinya itu. Betapa waktu terlalu cepat berlalu. Via sudah sebesar ini sebelum ia sempat melakukan apa-apa untuknya. Via sudah tumbuh menjadi gadis yang cantik, teramat sangat cantik. Sepasang alis tebal dengan mata sayu yang indah adalah daya tarik yang mampu membuat siapa saja betah berlama-lama memandang Via. Jika Fea memiliki kecantikan yang 'glamour' dengan wajah semi oriental dan garis wajah yang tegas, maka kecantikan Via berada di kategori klasik dan elegan. Jenis wajah yang ia warisi dari sang ayah.
![](https://img.wattpad.com/cover/78610935-288-k763678.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Another Happiness
RomanceMungkin nanti, akan ku temui kamu pada takdir yang lain. Atau mungkin, pada kesedihan yang lain. Apalah kita yang bersandar pada segala sesuatu yang tak kekal.