-13- Keresahan

471 55 22
                                    

Gerakan tangan gadis cantik itu semakin membabi buta mengaduk tas yang terbuat dari karung beras bertalikan sumbu kompor hitam. Dan tak kunjung menemukan. Ia panik tentu saja. Ini adalah hari terakhir rangkaian masa orientasi siswa baru - nya. Dan akan ditutup dengan Ia dihukum merayu seniornya entah siapa jika suratnya tak kunjung ditemukan.

Selain identik dengan atribut yang culun dan aneh masa orientasi siswa juga tidak bisa di pisahkan dengan hal aneh lain seperti; surat cinta untuk salah satu kakak pendamping.

Fea, gadis cantik itu sudah membuat surat cinta wajib kemarin malam dan seharusnya diserahkan pada seniornya hari itu. Ia ingat sekali menaruh suratnya di dalam tas. Tapi, dimana surat itu sekarang? Bagaimana bisa tiba-tiba lenyap?

Terima kasih Tuhan atas musibah ini.

"Ayo, mana suratnya! Mau pulang cepet apa nggak?" Itu suara pendamping kelompoknya yang sedang menginspeksi. "Kalo ada yang nggak buat suratnya, sesuai kesepakatan harus langsung bikin kata-kata manis di depan panitia ya."

Tamat sudah.

Ia menundukkan kepala sedalam-dalamnya sembari memutar otak mencari cara meloloskan diri dari hukuman.

"Hei kamu! Mana suratnya?" Itu suara kak Mada, salah satu pendamping gugusnya. Laki-laki berkacamata itu menengadahkan tangan di depan wajahnya.

"Emm.. anu kak.." Fea menggigit bibirnya cemas.

"Anu apa? Ayo mana suratnya. Jangan bilang nggak buat."

"Mungkin ini punya kamu?" suara menginterupsi dari seorang senior perempuan di depan kelas membuat semua orang di dalam ruangan mendongak. Sang kakak senior memandang Fea jahil dengan sebuah surat beramplop biru di tangannya. "Tadi jatuh. Lain kali hati-hati ya."

Fea jelas tahu itu bohong. Ia sadar sudah di kerjai. Surat itu jatuh? Omong kosong paling super.

"Aku bacain langsung nggak apa-apa kan?" Si senior berambut bob itu mengedip sebelah matanya ke Fea. Wajah Fea sudah merah padam. Sialan. Ia ingat sekali isi suratnya. Tapi, Fea juga tidak bisa berbuat apa-apa selain pasrah dan menundukkan wajah semakin dalam.

"Dear kakak-kakak cowok pendamping gugus 6," si rambut bob mulai membaca surat Fea dengan nyaring. "Saya suka sama kakak-kakak soalnya penampilan kakak itu unik. Terutama… sepatu kakak yang mengkilap itu. Saya baru tahu ada orang yang pakai sepatu pantofel ke sekolah. Maksud saya… udah kayak papa saya kalo mau pergi ke kantor setiap hari."

Lamat-lamat Fea bisa mendengar dengusan geli si kakak rambut bob, juga decakan tak percaya dan tawa yang ditahan dari beberapa orang begitu surat itu selesai di baca.

"Dasar manekin mall. Shopping mulu kayaknya sampe pantofel itu wajib aja nggak ngerti!" Samar-samar Ia mendengar pendamping kelompoknya menggerutu.

Saat menulis surat itu, menurut Fea surat itu lucu dan pasti lain dari yang lain. Ia tidak tahu sepatu pantofel dipakai ke sekolah itu sesuatu yang sangat wajar. Bahkan, sepatu pantofel jadi atribut wajib buat anggota Pramuka dan Paskibra. Ya, bagaimana? Selama tiga tahun di SMPnya baik siswa maupun siswi diwajibkan memakai sepatu warrior berwarna hitam-putih. Tahu kan, sepatu warrior… yang sekarang sering disebut-sebut sepatu Converse itu?

Wajah Fea tentu saja merah padam. Antara malu dan menahan tangis. Lalu, sentuhan lembut di belakang pundaknya membuatnya menoleh.

Anak laki-laki tampan yang selama masa orientasi jadi pusat perhatian senior perempuannya itu tersenyum hangat padanya. Laki-laki itu tidak mengatakan apa-apa. Senyumnya seolah berbicara bahwa 'semuanya akan baik-baik aja. Nggak perlu takut'. Dan entah bagaimana Fea percaya. Ia membalas senyum laki-laki itu.

Another HappinessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang