-1- Trust

675 56 3
                                    

“Pokoknya kamu harus sering-sering hubungi Uti selama disana ya, ndhuk.” Wanita berusia senja itu kembali memeluk cucunya dengan mata berkaca-kaca.

“Uti, Via kan cuma 3 bulan di Jakarta. Nanti kalo liburan selesei juga Via balik.” Via tersenyum menatap neneknya. Tidak habis pikir kenapa wanita itu akan sesedih ini.

“Habisnya kamu ndak pernah pergi selama ini.”

Wes lah, Uti. Via kan juga kangen sama mama papanya. Jangan buat gendhuk sedih begitu.” Kali ini, pria senja yang masih nampak begitu segar dan sehat yang berbicara. “Via kan juga sudah ngajak kita. Tapi, Uti yang ndak mau.” Tambahnya.

Via kembali tersenyum mendengar penuturan kakeknya. Ia lalu berganti memeluk dan mencium tangan pria berumur itu, bersamaan dengan announcement yang menyebutkan bahwa pesawat dengan tujuan Jakarta yang di tumpanginya akan berangkat sebentar lagi.

“Via pergi dulu ya Uti, Kakung. Via janji bakal sering-sering hubungi kalian.” Via mengalihkan pandangan pada sosok pemuda yang sejak tadi diam di samping kakeknya. Via melempar senyum terbaiknya. “Aku pergi dulu ya, Fa. Enjoy your holiday.”

Dengan langkah pelan Via balik badan dan berjalan menjauh, di iringi tatapan ketiga orang yang menyayanginya.
Daffa mendesah pelan. Entah kenapa, ia memiliki firasat bahwa kepergian Via ke Jakarta ini, akan membawa dampak yang besar. Dan ia membenci firasat itu.

***

“Kayaknya kamu happy banget.” ucap seorang pemuda yang kini berbicara pada gadis di layar ponselnya. “Apa aku salah?”

“Keliatan banget ya?” gadis itu tampak mengulum senyum.

“Hmm, jadi?”

“Hari ini Lexi bakal pulang, Ren.”

Really?” seru pemuda itu. “Sayang banget, aku nggak bisa ketemu dia.”

No no... Lexi bakal pulang buat tiga bulan. It’s mean, you can meet her in two months later.”

Seriously?”

Gadis itu mengangguk.

“Oke.”

“.....”

“Fe”

“Ya?”

Pemuda itu menelan ludah sebelum berkata, “You’ll wait me in two months again, won’t you?

Gadis itu mengerutkan dahi bingung, “What are you trying to talking about, Darren?

Darren –pemuda itu- menghela nafas pelan, “Fea, how about... Al..vin?” Rasanya Darren butuh perjuangan yang tidak mudah hanya untuk menyebut nama sahabatnya itu. Atau mantan sahabat, eh?

Fea terkejut dengan pertanyaan Darren. Ini adalah pertama kali sejak hampir setahun yang lalu, Darren menanyakan tentang Alvin. Namun, dengan segera Fea kembali menormalkan ekspresinya.
“Alvin baik-baik aja kok.” Jawabnya berusaha santai.

“Bukan itu maksud aku.” Kata Darren. “Alvin, kamu.... kalian, apa kalian sering jalan?”

“Kami sering jalan sama anak-anak yang lain juga, Ren.” Ujar Fea dengan sorot tak terbaca. “Kamu nggak lagi nyoba buat curigain aku kan?”

“Ahh, bukan gitu Fe.”

“Terus?”

“Aku percaya sama kamu.” Aku berusaha percaya sama kamu.

“Ren, trust me. I love you.

I know.” Darren tersenyum. Lalu sempat berbicara beberapa hal tentang kepulangannya ke Indonesia dua bulan lagi, sebelum mengakhiri sesi video call mereka.

Another HappinessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang