Maybe cause of her eyes, maybe cause of her smile, or maybe cause she is ordinary woman. I love to her
***
Seumur hidup, Via tidak pernah di peluk makhluk berjenis laki-laki manapun, kecuali dua saja; Ayah dan Kakeknya. Tidak juga Daffa yang menjadi sahabatnya hampir 15 tahun.
Via selalu menempatkan batas-batas tertentu untuk setiap interaksinya. Tidak pernah ada skinship atau hal-hal berlebihan yang lain. Itulah yang mungkin selama ini membuat banyak laki-laki yang mendekatinya mundur teratur. Mereka mengatakan Via kaku, dan ia sama sekali tak keberatan.
Di tengah bebasnya afeksi, Via seolah menjadi anomali. Via tahu begitu banyak laki-laki yang mencoba menarik hatinya sejak ia bertumbuh remaja. Namun, bagi Via mereka hanyalah teman biasa-biasa saja. Ia tidak pernah merasakan apapun itu yang orang bilang tentang chemistry, ketertarikan dan sebangsanya. Itu pula yang membuatnya santai-santai saja meski tahu Daffa menyukainya.
Via tetaplah Via. Gadis dengan kasih sayang yang ia tebar untuk siapa saja. Ironisnya, Via seakan terlalu susah jatuh cinta.
"Mungkin kamu bukannya susah cinta sama orang. Tapi, kamu yang terlalu takut dan menahan diri."
Via ingat Daffa sering mengatakan itu padanya kala ia dilanda penasaran bagaimana rasanya jatuh cinta.
Barangkali Daffa benar. Lagipula keberanian macam apa yang bisa diharapkan darinya. A girl was passed through so much pain in her life.
Namun, bisa jadi Daffa salah. Mungkin bukan Via yang terlalu sulit jatuh cinta. Mungkin Via hanya perlu orang yang bisa membuatnya jatuh cinta.
Lihatlah apa yang terjadi satu jam lalu. Karena gadis yang mereka tasbih tidak bisa jatuh cinta itu dengan sukarela membiarkan dirinya di dekap laki-laki yang bukan ayahnya dan membiarkan kewarasan yang selama ini diagungkannya menguap saat ia balas memeluk laki-laki itu sama eratnya.
***
Alvin sudah selesai mengganti kemejanya dengan jersey futsal lima menit lalu. Namun, yang dilakukan pemuda itu hanyalah berdiri menyandar di pintu kamar ganti dan mengamati gadis yang tengah tertawa lebar di bench pinggir lapangan.
Alvin penasaran, rayuan macam apa yang diberikan Angga sampai gadis itu harus memegangi perutnya karena tertawa. Ia tersenyum kecil. Sesuatu yang nyaris selalu dilakukannya beberapa jam terakhir. Ingatannya kembali pada kejadian 1 jam lalu di apartemennya.
"May I hug you?"
Alvin bisa melihat jelas keterkejutan di mata Via saat ia menyuarakan permintaannya. Matanya mengerjap lucu berkali-kali tanpa mampu menjawab. Alvin bisa melihat sorot kebingungan dan keraguan di mata indah itu tapi yang dilakukannya adalah justru memangkas jarak di antara mereka. Ia menarik lengan gadis itu pelan lalu membawa gadis itu dalam peluknya.
Alvin dapat merasakan tubuh gadis itu menegang, membuatnya -sebenarnya- agak menyesali tindakannya. Ia sudah akan melepas pelukannya saat gadis itu justru balas memeluknya.
Sesuatu didalam dada Alvin terasa seperti meledak. Ia mengeratkan pelukannya. Membenamkan kepala gadis itu di dadanya. Ada kelegaan luar biasa yang membanjiri sekujur tubuh Alvin yang tak ia tahu kenapa.
Alvin tidak tahu bagian mana yang harus menjadi perhatian utamanya. Tubuh gadis itu yang begitu pas dalam pelukannya, wangi neroli dan raspberry yang menguar dari gadis itu atau justru kesehatannya sendiri karena jantungnya bekerja tanpa kendali. Namun, sepertinya Alvin tidak bisa banyak berpikir karena dering ponselnya sendiri pada akhirnya memaksa mereka mengurai pelukan lebih cepat dari kemauannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Another Happiness
RomanceMungkin nanti, akan ku temui kamu pada takdir yang lain. Atau mungkin, pada kesedihan yang lain. Apalah kita yang bersandar pada segala sesuatu yang tak kekal.