Sudah hampir pukul dua belas malam.
Via duduk di depan cermin, menyisir helaian rambut dengan jemari. Memperhatikan wajah gadis yang balik menatapnya dari cermin. Memiringkan sedikit kepala, lalu tersenyum.
Selama ini, selalu banyak orang memujinya cantik. Sesuatu yang sama sekali tidak pernah membuatnya terkesan. Via tidak pernah benar-benar bangga pada parasnya. Ia ingin seseorang yang bisa melihatnya lebih dari sekedar dia 'cantik'.
Pintu kamar di ketuk dari luar dan terbuka sesaat, setelah Via mengatakan 'masuk'.
Fea masuk lalu menghempaskan dirinya di ranjang Via. Ia menatap bayangan adiknya di dalam cermin lantas tersenyum simpul.
"Lo cantik banget deh."
Via mengangkat sebelah alisnya dan tertawa kecil.
"Kamu kayak ngomong sama siapa aja."
Fea tersenyum lagi. Meskipun mereka berdua kakak adik, mereka memang nyaris tidak memiliki kemiripan secara fisik. Jika Fea memiliki 70% kemiripan fisik dengan Nania. Maka, wajah Via adalah wajah Juna versi perempuan. Satu-satunya yang mirip diantara keduanya hanyalah tinggi badan mereka yang terlihat sejajar.
"Lo, beneran gak mau netep disini aja apa?"
Via memutar badannya untuk balik menatap Fea.
"Aku kan udah di terima kuliah di Surabaya. Sesuai sama yang aku pengen."
"Lo bisa pindah kuliah disini kalo lo mau. Banyak kok kampus di Jakarta yang design interiornya bagus juga."
Sivia menggeleng. "Nggak ah. Sayang usahaku yang kemaren-kemaren."
Fea berdecak. Ia sudah yakin bahwa tidak akan bisa membujuk Via untuk kembali ke rumah. Mau tidak mau, sedikit perasaan bersalah menyentil hatinya.
"Trus, temen lo yang di kampung itu gimana? Kuliah di tempat lo juga?"
Sivia tersenyum. "Dia kuliah di Surabaya juga, cuma kita gak satu kampus. Dia mau jadi guru." terang Via
"Kalian pacaran ya?"
"HAH?" Sivia tergelak. "Ngaco."
"Dih, serius. If i'm not mistaken, he already fell in love with you since you're a kid. And i'm sure, i'm not." ujar Fea.
Alih-alih menjawab, Via justru nampak berpikir sembari mengetuk-ngetuk kening dengan sisir di tangannya.
"Well. Sepertinya tebakan gue bener." Fea memicingkan mata ke arah adiknya.
"He did." jawab Via santai, membalas tatapan Fea.
"But, you didn't." ucap Fea, melanjutkan apa yang tidak bisa di katakan Via. "Why? Isn't he your type?"
Sivia tersenyum masam. "I haven't a type. Technically."
Fea mengerutkan keningnya mendengar jawaban itu. "Dia temen lo disana sejak kecil. Pas gue ke rumah Kakung dan ketemu dia, menurut gue nih, secara fisik yaa, dia not bad lah. Dan keliatannya cowok yang baik. Ya meskipun waktu itu kalian masih SMP."
"Daffa emang baik kok."
"Then, why?" cecar Fea. All that reason, aren't enough for you?"
Via mengalihkan tatapannya dari Fea. Pandangannya menerawang dan ia tersenyum tipis. "I'm not loving him. And i think, if i love someone, it could be better if i have no any reason. Just that."
Fea terhenyak mendengar jawaban Via. Ia mencoba mensinkronkan jawaban itu juga pada apa yang tengah di alaminya saat ini.
Melihat respon Kakaknya justru hanya diam dan menunduk, Via langsung merasa bahwa Fea sedang memiliki masalah saat ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Another Happiness
Lãng mạnMungkin nanti, akan ku temui kamu pada takdir yang lain. Atau mungkin, pada kesedihan yang lain. Apalah kita yang bersandar pada segala sesuatu yang tak kekal.