Aku terlalu asik berlari hingga terlambat menyadari, bahwa kamu sudah berhenti mengejarku jauh-jauh hari
***
Fea mencoret-coret diktat kuliah di depannya. Penjelasan menggebu-gebu dari dosen yang sedang menjelaskan mata kuliah politik Internasional hanya bergaung samar di telinganya.
Fea hanya berhasil konsentrasi di lima menit pertama, mencoba berkonsentrasi di lima menit kedua, dan benar-benar kehilangan konsentrasi menit selanjutnya.
Ekonomi politik global....
Ekonomi politik Internasional....
Kalimat-kalimat itu hanya mampir di telinganya kemudian hilang tanpa berbekas dalam kepalanya.
Seperti Alvin.
Menarik nafas panjang, Fea mencoba menghalau sesaknya. Jantungnya menyentak resah. Sekali lagi, ia mengecek ponsel. Berharap benda elektronik berwarna putih itu berkedip menyala dan mengurangi intensitas keresahannya. Namun, lagi-lagi ia menelan ludah kecewa saat ponselnya tak menampilkan pemberitahuan apa-apa. Hanya ada satu line masuk dari Via yang mengabarkan bahwa gadis itu sedang ada urusan lain sehingga tidak bisa menunggunya sampai kuliah usai.
Fea tidak pernah menduga Alvin akan bisa mengabaikannya begini. Malam lalu, Fea memang cukup terkejut, sedikit kecewa ketika Alvin mengatakan agar mereka mulai menjaga jarak. Mulai memikirkan jalan masing-masing.
Alvin mengatakan tentang 'tidak patut' baginya terus berada dekat dengannya, saat ia sendiri berstatus kekasih orang lain. Terlebih, orang lain itu adalah sahabatnya.
Semula, Fea pikir itu hanyalah emosi sesaat Alvin. Bentuk kekecewaannya karena Fea tidak juga menentukan pilihan. Tapi, bukankah seharusnya Alvin mengerti bahwa ia sudah memilih? Bukankah selama ini sudah jelas bahwa Darren adalah pacarnya dan Alvin hanya temannya?
Ya. Teman.
Lalu, kenapa jika Alvin hanya teman dirinya harus gundah begini? Kenapa ia merasa risau dengan hal ini?
Fea mendesah, mendengar jawaban-jawaban yang di teriakkan dalam kepalanya.
Benar, bahwa selama ini ia merasa nyaman dengan kehadiran Alvin di dekatnya ketika Darren pergi. Benar, bersama Alvin harinya tidak lagi terasa sepi.
Dan dengan segala bentuk perhatian Alvin selama ini, ia yakin Alvin mencintainya. Ia yakin Alvin begitu mencintainya hingga laki-laki itu tak beringsut dari sisinya, sekalipun tahu bahwa ia masih pacar sahabatnya. Ia sangat yakin bahwa Alvin akan selalu pulang padanya meskipun kerap kali Alvin kecewa saat memergoki Darren menelponnya. Ia terlalu yakin hingga keyakinan itu berbalik menyakiti dirinya ketika kini Alvin mengacuhkannya.
Lets have our brunch, today!
Untuk yang kesekian kali dalam kurun waktu sepuluh menit, Fea melirik pesan terakhirnya pada Alvin yang berujung di baca tanpa balasan. Lebih dari itu, Alvin juga menolak permintaannya untuk berangkat kuliah bersama. Membalas beberapa pesan yang ia kirimkan hanya dengan sepatah dua patah kata, sebelum akhirnya sempurna tak menghiraukan pesannya.
Fea tidak suka Alvin berubah. Fea tidak mau Alvin berubah. Tanpa sadar Ia mendesah keras, cukup keras untuk membuat seisi kelas menoleh heran padanya.
"Ada masalah Oscarafea Firamada?" Mr.Andre, dosen pengampu mata kuliahnya menatap penuh peringatan.
Dengan wajah menyesal, Fea tersenyum meminta maaf kemudian kembali mencoba fokus pada materi kuliah sebelum satu pesan masuk menguapkan fokusnya tanpa sisa.
'Sorry udh ada janji sm tmn'
***
"Penyetan disini yang paling enak se-Jakarta."
KAMU SEDANG MEMBACA
Another Happiness
RomanceMungkin nanti, akan ku temui kamu pada takdir yang lain. Atau mungkin, pada kesedihan yang lain. Apalah kita yang bersandar pada segala sesuatu yang tak kekal.