Chapter 6

1.1K 154 5
                                    

Langit-langit kamar tidurnya menjadi pemandangan pertama yang ditangkap oleh kedua mata William. Ia menarik napas sejenak, kemudian kembali memejamkan matanya.

Bukan untuk tidur. Ia hanya ingin menenangkan pikirannya yang mungkin sedikit kacau.

Ini aneh. Tidurnya semalam terasa nyenyak sekali. Tidur ternyenyak selama beberapa tahun belakangan ini. Dalam tidurnya, ia merasa seperti tengah memeluk ibunya yang hangat. Ibunya yang selalu membuatnya nyaman dan ibunya yang sangat ia rindukan.

William mendesah keras. Pikirannya pasti sedang kacau. Efek dari obat-obatan yang sering dikonsumsinya pasti membuatnya berhalusinasi yang tidak-tidak.

Ya, itu pasti hanya delusi buatannya yang terlalu merindukan sang ibu. William mengangguk yakin.

Namun, entah kenapa, kehangatan itu malah terasa nyata sekali. Seolah bekasnya saja masih tercetak begitu jelas dalam hatinya yang membeku.
William masih bisa merasakannya.

Dan meskipun samar, William juga masih bisa mengingat aroma menenangkan yang menemani tidurnya semalam. Aroma harum yang begitu lembut dan menyenangkan untuk dihirup. Membuat perasaannya damai.

Inilah yang janggal.

William sama sekali tidak mengenali aroma itu. Ia tahu betul itu bukan aroma tubuh ibunya. Itu aroma yang asing. Tapi...aroma itu sungguh membuatnya nyaman. Membuatnya ingin menghirupnya berkali-kali dan merasakan kelembutannya menjalar ke seluruh tubuhnya yang hampa.

Sadar bahwa ia sudah terlalu larut dalam halusinasi dan pikiran kacaunya, William bangkit dengan terburu-buru dari posisi berbaringnya dan langsung mendapati rasa sakit mendera kepalanya.

Ia meringis. Memijat kepalanya pelan sebelum berteriak memanggil Gio untuk datang ke ruangannya.

***

Yuki melamun. Ia baru saja selesai membersihkan diri dan kini tengah duduk termenung di atas kasur barunya yang empuk dan nyaman. Meskipun ukurannya kecil, tapi ini jelas jauh lebih baik daripada lantai dingin yang selama ini selalu jadi alas tidurnya.

Semenjak William demam, Maxime-lah yang memegang kendali markas. Dia yang mengatur pekerjaan para bawahan William, termasuk salah satunya menyuruh mereka untuk menyiapkan kamar baru bagi Yuki dan tidak mengikat atau memborgol tangan Yuki lagi.

Yuki tentu saja senang mengetahuinya. Untuk satu hari, ia tidak perlu lagi merasakan dinginnya lantai, sakitnya diborgol dan diikat, atau perihnya dijambak dan diseret jika ia sedikit memberontak. Ia bahkan bisa keluar-masuk kamar mandi sesuka hatinya tanpa harus menunggu izin atau waktu yang sudah ditetapkan oleh William.

Yuki sungguh bersyukur atas kedatangan Maxime. Laki-laki itu sudah ia tetapkan sebagai malaikat penolongnya.

Di samping itu, satu hari kemarin juga merupakan hari paling tenang dalam hidup Yuki semenjak ia menginjakkan kakinya di markas ini. Ia hanya perlu merawat dan menjaga William yang sedang sakit, tanpa merasa takut kalau pria itu akan menyiksanya dan membuat tubuhnya kesakitan lagi.

Memikirkan tentang William, Yuki jadi teringat kejadian semalam, di mana laki-laki kejam itu memeluknya begitu erat sambil menggumamkan kata ‘mamma’. Masih tergambar begitu jelas di ingatannya bagaimana lelaki itu meringis ketakutan tanpa berhenti memanggil ‘mamma’-nya. Ia begitu ketakutan, lemah dan juga...menyedihkan. Yuki amat tak tega melihatnya. Apalagi setelah melihat cucuran air mata yang mengalir dari sudut-sudut kelopaknya, Yuki semakin bertanya-tanya, apa yang membuat laki-laki itu menangis? Apa terjadi sesuatu pada ibunya? Di mana ibunya berada sekarang?

Yuki meringis dalam hati. Ia jadi teringat ibunya yang sudah meninggal lima tahun lalu. Seandainya ibunya itu tahu keadaan dirinya yang sekarang, apa yang akan ibunya katakan? Menyuruhnya membenci laki-laki itu? Mengumpati laki-laki itu? Atau...membunuh laki-laki itu?

Pain And The DarknessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang