Chapter 11

1K 132 3
                                    

Ken mengulurkan tangannya mendekati api unggun yang sedang menyala-nyala di tengah kerumunan tentara. Selembar kain tipis yang dijadikannya sebagai selimut sekaligus penghangat badan rupanya sama sekali tidak memberikan efek apa-apa. Udara dingin malam tetap saja berhasil mencabik-cabik tulang rusuknya, hingga Ken merasa begitu yakin kalau ia bisa mati membeku hanya dengan tinggal di sini selama beberapa hari. Tanpa api unggun.

Setelah merasakan hangat dari api unggun yang mulai menjalar ke punggung dan seluruh tubuhnya, Ken mengedarkan pandangannya. Ia bisa melihat tentara-tentara lain yang turut berusaha menghangatkan tubuhnya serta beberapa di antara mereka yang juga sudah jatuh terlelap.

Ken meringis. Sudah beberapa hari ini ia dan tentara-tentara lainnya-yang berstatus sebagai bala bantuan untuk kesatuan militer Rusia-menjalani pelatihan di hutan Siberia dan sudah berulang kali pula mereka melewati malam-malam seperti ini. Kedinginan dengan perut yang kelaparan sambil mengelilingi sebuah api unggun. Tenda-tenda yang mereka pasang pun sebenarnya tidak lebih dari tenda untuk menyimpan senjata dan perlengkapan latihan militer. Sedangkan untuk tempat istirahat, mereka hanya bisa mengandalkan rumput-rumput tajam hutan Siberia.

Memerhatikan tentara-tentara yang kebanyakan berasal dari daratan Eropa tersebut, Ken menyadari sesuatu. Ia tidak melihat nya lagi. Punggungnya kemudian sedikit ia luruskan agar mampu melihat tentara lain yang duduk cukup jauh dari api unggun. Namun, hasilnya tetap nihil. Ken tetap tidak bisa menemukan orang itu dalam kerumunan tentara.

Cemas, Ken kemudian bangkit dari posisi duduknya. Ia menggosok-gosokkan kedua tangannya, berharap sisa-sisa hawa panas api unggun tadi masih bisa bertahan lama dalam tubuhnya. Setelah itu, Ken cepat-cepat meninggalkan kerumunan tentara dan kehangatan api unggun itu demi mencari seseorang.

Seseorang yang akhir-akhir ini membuat Ken begitu khawatir.

Langkah kaki Ken kemudian memasuki hutan lebih dalam. Udara semakin dingin. Tumbuhan-tumbuhan jarum semakin padat menyapanya. Tapi Ken tak peduli. Ia terus berjalan dengan cepat hingga kakinya berhenti tepat di ujung tebing yang menghadap sebuah lahan kosong yang digunakan untuk pelatihan saat siang hari.

Dari atas tebing, Ken bisa melihat sosok yang dicarinya itu. Seperti beberapa hari belakangan, pria itu tengah berlari mengelilingi lahan. Ia juga mencoba melewati segala halang rintang yang biasa digunakan saat berlatih di siang hari. Melompat, memanjat dan merangkak, pria itu lakukan terus-menerus. Tiada henti.

"Hiroshi-sama ...."

Tangan Ken terkepal. Ia mengerti kalau tuannya itu memiliki keinginan yang begitu besar untuk menjadi prajurit yang kuat agar bisa menyelamatkan adiknya. Namun, berlatih di tengah malam dingin seperti ini, juga bukanlah hal yang baik, 'kan? Terlebih di siang hari pun, Ken tidak pernah melihat tuannya itu beristirahat walau hanya sedetik. Hampir setiap saat, tuannya itu selalu berlatih dan berlatih. Terus memforsir tubuhnya sendiri.

"Hiroshi-sama. "

Ken bergumam lirih. Ia kemudian merendahkan tubuhnya lantas berhati-hati menuruni tebing. Kakinya sempat beberapa kali terpeleset karena pencahayaan yang hanya berasal dari sinar rembulan.

"Hiroshi-sama !" panggil Ken cukup keras setelah sepenuhnya tiba di lapangan pelatihan.

Hito hampir melompati satu batang rongga kayu sebelum kemudian terburu-buru menolehkan kepalanya ke arah sumber suara. "Ken."

Meskipun pencahayaan di tempat itu sangat terbatas, Ken bisa memperkirakan kalau tuannya sekarang pasti sedang memasang wajah terkejutnya. Tentu saja. Itu semua lantaran Ken yang baru saja melanggar peraturan di mana mereka seharusnya berpura-pura bisu dan tuli. Ken seharusnya tidak memanggil tuannya dengan sebutan itu terlebih dengan pengucapannya yang begitu jelas.

Pain And The DarknessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang