Chapter 18

951 138 6
                                    

Yuki terlalu syok mendengar bisik-bisik orang yang ada di balik pintu kamarnya. Kakinya melemas. Tubuhnya sontak merosot dengan isakan yang ia tahan sebisa mungkin. Pintu di belakang punggungnya bergerak terbuka. Memunculkan sosok yang benar-benar tidak ingin Yuki lihat keberadaannya sekarang.

"Yuki, apa yang terjadi?"

Pertanyaan pendek itu terasa begitu menyakitkan bagi Yuki.

Setelah penderitaannya selama ini, setelah perlakuan laki-laki itu terhadapnya dan setelah apa yang didengarnya barusan, pria di hadapannya ini masih berani bertanya apa yang sedang terjadi? Apa pria ini begitu bodoh?

"Kau...." Yuki mendongakkan kepalanya. Menatap William yang berdiri menjulang di hadapannya dengan nyalang. Rasa marah, kecewa dan benci bercampur menjadi satu. Namun, dari keseluruhan rasa itu, rasa sakitlah yang paling mendominasi perasaan Yuki saat ini.

"APA YANG KAU LAKUKAN?!" Yuki berteriak histeris. Ia mencoba berdiri walau kakinya masih terasa begitu lemas. Dagunya ia angkat. Membuat kedua matanya langsung bersibobrok dengan kedua iris kelam William. "Kau... apa yang kau lakukan, huh?" desis Yuki. "Apa tujuanmu yang sebenarnya membawaku ke sini? Apa maumu? Apa... apa...." Suara Yuki mulai bergetar. "APA MAKSUD PENYERANGAN KE HIROSHIMA ITU?!"

William terbelalak.

'Jadi, Yuki sudah tahu?'

Gadis itu gemetar. Kepala yang tadi ia angkat, tertunduk begitu saja. Ia kemudian mengepalkan kedua tangannya, mengangkatnya lalu meninju-ninjukannya pada dada William. Tentu saja tinjuan yang lemah.
Yang tidak berarti apapun bagi William.

"Kau... kau boleh membenciku. Kau boleh membenci ayahku atas apa yang telah ia perbuat," kata Yuki. Masih meninju dada bidang William dengan sisa-sisa tenaga yang ia miliki. "Tapi... menghancurkan Jepang, menghancurkan kota kelahiranku, menghancurkan orang-orang yang bahkan tidak tahu apa-apa. Kenapa?"

Dengan sisa keberanian yang terselip dalam dirinya, Yuki kembali mengangkat kepalanya. Menatap William-kali ini dengan pandangan terluka. "Kenapa... kenapa kalian melakukan itu? Kenapa? Haruskah orang-orang yang tak bersalah juga ikut dikorbankan?"

William membisu. Melihat Yuki yang menangis tak berdaya di depannya membuat William tidak tahu harus melakukan apa. Ia takut akan lebih menyakiti perasaan gadis itu.

"Kau... aku padahal sudah mencoba untuk mengerti posisimu. Aku mulai memahami kehidupanmu dan semua hal tentangmu. Aku... aku bahkan mulai merasa dekat, percaya dan... dan jatuh cinta padamu," tutur Yuki. Suaranya semakin bergetar. "Tapi... aku ini memang bodoh, ya? Seharusnya aku sadar kalau sejak awal kita adalah musuh yang seharusnya saling membenci dan saling membunuh, Tapi... aku dengan kurang ajarnya malah jatuh cinta padamu."

Yuki mencengkeram kemeja dan jas William yang sebelumnya ia tinju. Matanya masih berusaha menatap langsung kedua mata William, walau air matanya sendiri sudah tak sanggup ia bendung. "Walau begitu, aku harus berterima kasih padamu karena sudah membuatku merasakan perasaan itu. Terima kasih dan kau tidak perlu khawatir. Setelah ini, aku akan menghapus seluruh perasaanku padamu dan menjalankan kesepakatan awal kita untuk saling membunuh."

Napas William tertahan. Ketidakrelaan sekaligus ketakutan yang luar biasa sontak merayapi hatinya.

"Yu-Yuki, apa yang kau-"

"Maafkan aku, Stefan."

Tahu bahwa hatinya tidak akan sanggup berdiri lebih lama lagi di dekat lelaki itu, Yuki lantas memutar tubuhnya dan langsung berlari meninggalkan kamar itu secepat yang ia bisa. Tak peduli ke mana, yang jelas Yuki harus pergi sejauh mungkin dari William. Hatinya benar-benar terluka. Sakit dan perih di saat yang bersamaan.

Pain And The DarknessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang