—12 tahun yang lalu
Strasbourg, Perancis, Juni 1930“Maxime! Cepat kembali ke sini! Dasar kau anak nakal!”
“Tidak mau! Aku benci
Mamo! Aku tidak mau jadi anak Mamo! Orang-orang bilang, Mamo itu perempuan murahan! Dan aku ini anak dari hubungan yang kotor! Aku benci Mamo!”“MAXIME!” Aami Bouttier berteriak sekuat tenaga memanggil putra tunggalnya yang sudah berlari melewati pekarangan sempit rumah kecil mereka. Bocah laki-laki itu terus berlari dengan sepatunya yang sudah rusak dan sama sekali tidak memedulikan teriakan ibunya yang berulang kali memanggil namanya.
“Maxime....” Suara Aami berubah lirih. Tubuhnya merosot ke atas lantai teras dengan air mata yang mulai bercucuran. Dadanya sesak. Lagi-lagi ia harus bertengkar dengan putra tercintanya karena masalah ini.
Aami tahu, sejak keputusannya untuk membiarkan Maxime terlahir ke dunia, anak itu pasti akan tumbuh dengan banyak hujatan dan hinaan dari orang-orang. Lahir tanpa ayah yang sah? Tentu saja itu menjadi hal yang tabu. Dan Aami jelas merasa dirinya pantas untuk disalahkan atas semua itu. Atas segala cacian, hinaan dan penderitaan yang putranya alami.
“Maxime....” Lagi-lagi Aami berujar lirih. Ia sungguh merasa telah menjadi orang tua yang gagal. Dulu, ia mengira bahwa ia mampu menjadi ibu sekaligus ayah yang baik untuk Maxime, namun ternyata...ia gagal. Ia malah membuat putra tersayangnya itu kekurangan kasih sayang dan hidup dengan penuh hujatan dari orang-orang.
Aami lalu meremas kemeja usangnya. Kepalanya mulai pusing karena terlalu banyak menangis. Akhir-akhir ini Aami memang sering merasakan pusing dan nyeri yang begitu hebat di kepalanya. Setiap pulang bekerja dari kedai susu milik Madame Norris pun, Aami hampir selalu jatuh pingsan. Ia sudah pernah pergi memeriksakan diri ke dokter di rumah sakit terdekat, namun jawaban dari dokter itu sukses membuat Aami bertekad untuk tidak pernah menginjakkan kakinya lagi ke tempat terkutuk itu. Tempat berisikan orang-orang yang bertindak layaknya Tuhan, seenaknya saja menentukan hidup dan mati seseorang.
Sejujurnya, di luar itu, Aami hanya takut. Bukan takut untuk mati. Ia takut untuk membayangkan hidup Maxime tanpa kehadirannya. Ia takut putranya akan semakin menderita. Maxime hanya bocah kecil berusia enam tahun yang masih membutuhkan kasih sayang darinya.
Atau... ayahnya.
Dengan sedikit tenaga yang tersisa, Aami kembali memasuki rumahnya. Ia mengambil mantel tebalnya kemudian beringsut pergi menuju satu-satunya tempat di mana ia bisa meminta pertolongan.
***
“Madame Norris! Madame
Norris!”Maxime mengetuk-ngetuk tak sabaran pintu kayu di depannya. Tubuh kecilnya basah kuyup karena berlari menerobos hujan tanpa pelindung apapun. Badannya menggigil kedinginan karena kaos yang dikenakannya sudah benar-benar basah hingga tak mampu lagi menutupi tubuhnya dan malah mencetak jelas kulit putihnya.
“Madame Norris! Madame
Norris! Tolong aku, tolong ibuku, Madame !” Maxime masih mengetuk-ngetuk pintu itu dengan keras. Tak peduli ketukannya itu bisa mengganggu penghuni rumah lain yang mungkin sudah jatuh terlelap.“Ada ap—oh, Ya Tuhan! Maxime!” Wanita bertubuh gempal itu cepat-cepat meraih kedua pundak kecil Maxime. “Apa yang terjadi? Kenapa kau hujan-hujanan begini? Ayo masuk.”
“Tidak, Madame,” tolak Maxime dengan bibir yang bergetar. “Kita...kita harus ke rumahku. Mamo...Mamo jatuh dan tidak bangun lagi, Madame. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Kumohon, bantu Mamo,
Madame. Bantu Mamo.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Pain And The Darkness
Historical Fiction[ CERITA LENGKAP ] Rencana yang tadinya sudah ia susun rapi dan terencana, mulai buyar dan berantakan. Tak ada lagi kepingan yang berjalan sesuai dengan apa yang William rencanakan. Semuanya menjadi kacau dan tak terduga. Hanya karena gadis itu. Han...